[3] : Historia de Amor

6.5K 337 6
                                    

Apa aku dan Sammy berakhir dengan pernikahan? Tidak, bukan itu. Apa Sammy punya pikiran menikah denganku? Apa aku sendiri siap menikah dengannya? Pertanyaan itu terus menggantung di otakku seperti daun tua yang tidak segera jatuh. Bahkan mengganggu saat menghabiskan sore ini di meja kerja.

Dua tahun kami menjalin hubungan. Dua tahun hidup bersama, berbagi tempat tidur dan melakukan seks. Kami membahas apapun yang terjadi sehari-hari, tapi tak ada cerita masa depan, tak ada bahasan tentang pernikahan, bahkan lamaran. Kami menikmati waktu kami berdua, walau pun ada sela yang membahas masa lalu, namun, kami seakan menutup apapun yang tak seharusnya di jabarkan. Hanya beberapa kali dalam dua tahun ini, Sammy membicarakan keluarganya. Dan aku pun begitu, yang kutegaskan adalah aku hanya mempunyai  ibu di Surabaya. Sedangkan Sammy, dari setiap kata yang kudengar, orang tuanya ada di Palembang, dan selama denganku, hanya sekali dia berkunjung kesana.

Mungkin aku dan Sammy lebih ingin menjalani hubungan ini dengan santai, bila toh nanti akan melangkah kesana, pasti akan ada jalan. Hanya saja...

Aku mengingat kembali ucapanku saat pertanyaan Claudy mencuat tadi siang.

Gua gak mau mikirin itu

Dan nyatanya, aku bukan tidak mau, atau belum. Aku pernah memikirkannya walau pun sekali. Hal itu terlintas saat Claudy berjalan di altar dan mengucap sumpah bersama Prasta. Aku bertanya pada hatiku, apa aku akan seperti itu bersama Sammy nanti? Ada rasa takut dan bahagia yang kurasakan, namun segera hilang, karena ku lihat Sammy tak begitu tertarik akan pernikahan.

"Hai, kamu lagi ngapain?" seseorang yang ada di kepalaku itu muncul dan mencium dalam leherku. Aku mengeliat.

Aku meletakkan pepsi yang masih tersisa sedikit, mengalungkan tangan ini ke lehernya dan memberi kecupan sekilas di bibir Sammy. Ia mengerang, menyergapku segera dan memaksaku merasakan rasa bibirnya di bibirku lebih dalam.

"Rasa pepsinya masih terasa, yang!" ujarnya usai melepaskan pangutannya. "Gimana kalo kita coba rasa lain?" Lelakiku ini mulai mengerling nakal.

Reflek aku menyubit lengannya yang keras, hasil dari rutin nge-gym atau workout. "Kamu belum makan Sam, dan kamu bakal malas kalo udah lewat waktunya dinner. So... No, okey!"

"Quicky s..."

"No!" Tegasku sambil melepaskan diri dari pelukannya.

"Ambilin makan dong akunya kalo gitu!" rajuknya. Aku membalas dia dengan wajah jutek, namun tetap beranjak ke rice cooker.

Aku memanaskan sop butut yang tadiku beli sepulang dari kantor. Salah satu makanan favorid Sammy. Saat pria L-Men-ku ini memakan dengan lahap, rasanya tak ada penyesalan walaupun harus berantri-antri saat membelinya.

Di momen-momen seperti inilah, pertanyaan itu muncul lagi. Apa kita akan berakhir seperti ini selamanya? Aku ingin membahasnya, hanya saja tenggorokanku seakan tersumbat merangkai sebuah kalimat dengan akhir pernikahan.

"Kenapa sayang, aku..." Sammy menggantungkan pertanyaannya saat sebuah dering terdengar. Ditatapnya benda silver itu sejenak lalu memandangku sebentar dan segera menjauh.  Aku menyaksikan tubuh Sammy memasuki kamar kami. Bukannya sudah cukup jelas, ini jauh dari kata pernikahan. Bahkan dia tidak percaya padaku dan tidak membiarkan aku mendengar apa yang dia bicarakan.

***

Seperti biasa aku menghabiskan dua jam sebelum tidur di depan televisi. Menonton Dennis the manace sembari memangku bantal bergambar Tasmania, ada satu toples sus kering yang malas kujamah. Beberapa kali mata ini melirik kearah pintu kamar yang tertutup. Ada apa sih dengannya di dalam sana, aku terus menerka-nerka. Ingin sekali aku menyusulnya, namun aku tahu Sammy tidak suka diganggu bila sudah berurusan dengan pekerjaan. Aku jadi ikut melirik sebal pada makan di meja yang belum ia habiskan.

Acara di depanku serasa hambar dan aku tidak berminat lagi. Aku rindu bergelung  di pelukan Sammy sembari menonton—bahkan film yang tak kusukai—sudah beberapa hari ini kami absen dengan rutinitas itu, karena Sammy yang terlalu sibuk dan sering pulang larut.

Aku baru saja berjalan ke arah kamar saat pintu akhirnya terbuka. Sammy tertegun sejenak melihatku dan lantas tersenyum hangat seperti biasa.

"Gak mau nonton?"

"Kamu aja, aku ngantuk!" tukasku acuh tak acuh. Rasanya sebal sekali, entah kenapa.

"Ya udah, tidur aja yuk!"

Aku tidak menjawab, tapi membiarkannya membuntutiku. Saat kami sama-sama merebahkan diri, aku segera membelakangi Sammy. Kedongkolan ini belum juga reda, dan aku malas berbasa-basi, meskipun kami jarang melakukan obrolan sebelum tidur.

"Hei!" panggil Sammy berupa bisikan yang menggelitik daun telingaku. "Are you okey, honey, dengan munggungin aku kayak gini?"

"I am fine. Just shut up! Aku mau tidur." balasku setengah membentak.

"Okey! Aku gak tau kamu marah kenapa, tapi aku sedang gak selera untuk bertengkar."

Aku hanya menarik napas dalam. Tidak tahu harus membalas apa. Ada yang mengganjal hatiku, namun sulit sekali untuk mengeluarkannya. Bukan sesuatu yang salah sebenarnya, dengan Sammy mengacuhkan aku karena pekerjaannya atau kami yang selalu melakukan foreplay bila akan bercinta. Rutinitas biasa, hanya saja kenapa sekarang terasa salah, terlihat tidak benar.

Aku menggigit bibir ketika mendengar pintu berdebam tertutup, tanda bila Sammy baru saja menjauh. Dan aku merasa bersalah karena memilih bersikap seperti ini.

***

Dentingan not demi not yang sangat familiar memaksa untuk aku menegakkan kepala. Rasa pusing merambat, namun aku tak bisa mengenyahkan intrumen yang tak berhenti mengalun. Sedikit sempoyongan, seperti baru saja menegak beberapa gelas martini aku menemukan pintu dengan gagang berkarat di ujung lorong. Sepertinya aku mengenal tempat itu, hanya saja tidak yakin.

Aku mendorong pintu itu seakan sudah biasa, tanpa takut sedikit pun. Tata letak ruangan ini persis dengan ruang tamu apartemenku, hanya saja tak ada apapun kecuali sebuah orgen berdiri gagah di tengah ruangan. Benar-benar pemandangan yang tidak bisa. Anehnya, nada-nada itu berasal dari sana, tanpa ada yang memainkan.

Langkahku mundur. Bukan takut, hanya tidak yakin. Lalu sekali lagi aku mundur, hingga punggungku menabrak sesuatu.

"Kamu ngapain disini?"

Pertanyaan itu menyeretku pada kesadaran yang valid. Mataku segera terbuka lebar, menatap langit-langit kamar. Jantungku berdetak kencang, hingga tangan ini langsung cengkram kaos Sammy. Si empunya masih terlelap sambil tengkurap.

Dengan kepala sedikit pening aku bangun dan duduk, bersandar pada kepala tempat tidur. Kilasan mimpi memenuhi seantero kepalaku. Bagian terkuat yang berpendar-pendar di memoriku adalah salah satu instrument klasik yang tersimpan di file musik di laptopku. Satu-satunya musik klasik yang aku tahu dan aku sukai, meski jarang kuputar.

Dan sedikit lega rasanya saat melirik jam yang sudah berada di angka enam, setidaknya aku tidak terbangun di tengah malam.

***

Last Love (END)Where stories live. Discover now