Diki mengangguk. Dia mengeluarkan tangan yang sedari tadi dalam saku celananya. "Mau jalan-jalan?" tanya Diki.

Ya, mungkin mereka butuh sedikit waktu untuk berbicara ringan dan berkeliling.

Mata Riska termenung menatap uluran tangan Diki. Apa yang harus ia lakukan. Mungkin saja jika ia menerima ajakan Diki seseorang akan kesusahan mencarinya.

"Ngga mau?" tanya Diki, agak kecewa.

Namun yang ditanya hanya diam sambil mengeleng pelan. Diki tersenyum simpul dan menarik kembali tangannya. Ia mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.

"Hm.." guman Riska. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun saat melihat mata Diki yang menatap lurus ke matanya, lidahnya menjadi kelu.

"Kenapa?" tanya Diki tenang.

Riska menggelengkan kepala. Suasana ini begitu canggung. Riska tidak dapat mengendalikan dirinya dengan baik. Bertemu dengan Diki bukanlah sebuah keinginannya. Meskipun dulu dia mengidamkan harapan kecil itu. Namun sekarang ia tidak ingin lagi memikirkan hal tersebut.

"Gue pergi dulu, ya. Mau balik ke rumah," kata Riska cepat.

Diki akan mengatakan sesuatu namun tidak jadi karena Riska sudah lebih dulu berbalik.

Tiba-tiba saja Riska dikejutkan oleh sosok tubuh tinggi yang tidak dia ketahui sejak kapan berada di belakangnya.

Lelaki itu tersenyum tipis. "Mau kemana?" tanyanya lembut.

Mata Riska mengerjap. Antara senang dan takut dia berada di antara dua lelaki ini. "Nyari kamu," guman Riska pelan. Kepalanya menunduk di depan dada laki-laki itu.

Lelaki berwajah oriental itu mengangkat kepalanya menatap Diki. Ia tersenyum tipis.

Diki tersenyum canggung membalas senyuman itu. Pikirannya sedang bercabang memikirkan banyak hal tentang pemandangan di depannya. Mungkinkah laki-laki itu bersama Riska, semacam seseorang yang dia kenal.

Diki terdiam. Dia hanya memandangi kedua orang di depannya dengan kening berkerut. Melihat bagaimana Riska terdiam ketika lelaki itu menggenggam tangan perempuan itu dan berbalik kepadanya beberapa langkah membuat jantung Diki berdetak cepat. Mungkinkah...

"Temannya Riska?" tanya laki-laki itu tenang.

Awalnya Diki terdiam saja. Yang menjadi fokusnya adalah genggaman tangan kedua pasang orang di depannya. Diki menelan ludah dengan susah payah. Ini adalah sebuah kesalahan.

Diki mengangguk pelan. Tatap matanya tidak dapat beradu dengan lelaki dewasa tersebut. Itu terlihat jelas karena Diki gelisah dengan tingkah Riska yang berlaku seolah mereka tidak mengenal sejak beberapa detik lalu.

Tiba-tiba telepon Riska berbunyi. Perempuan itu mengambilnya dari dalam saku celana. Ia memandangi layar telepon sebentar, lalu mengkatnya sebentar. Ia melirik kedua laki-laki di depannya bergantian sambil menjawab singkat telepon dari seseorang di seberang sana. Ia menatap laki-laki di sampingnya lama, beberapa detik berikutnya ia memberikan telepon tersebut.

Lelaki itu mengangkat alis, bertanya penelepon dari siapa. Riska tidak menjawab, ia hanya menunduk. Laki-laki itu langsung saja berbicara dan sedikit menjauh dari mereka.

Diki hanya bisa membeku menyaksikan hal tersebut. Riska masih saja terdiam sambil menunduk di depannya. Perempuan itu tampak gelisah, namun ia tidak mau pergi dari tempat itu segera.

"Gue pikir lo lupa. Ternyata lo benar-benar udah lupain gue," guman Diki. Sebenarnya ia tidak jelas mengerti maksud perkataannya, namun itulah yang sedang ia rasakan, perasaannya tiba-tiba menjadi rumit.

Riska menghela napas panjang. Ia sangat mengerti maksud laki-laki di depannya. "Kita ngga pernah ninggalin pesan apa-apa. Sebuah perjanjian atau apapun," kata Riska.

"Gue ngerti," potong Diki cepat. "Tapi apa lo ngga bisa kasih gue kabar? Bukannya..."

"Bukannya lo yang ninggalin gue waktu itu?" sela Riska, menatap laki-laki di depanya.

"Itu yang terbaik buat lo," sahut Diki setengah hati.

"Kalau gitu yang terjadi sekarang udah yang terbaik buat kita." Riska menggigit bibir bawahnya. Ia benar-benar gugup untuk berhadapan dengan masa lalu seperti ini. Hal yang begitu lama ia ingin lupakan dan Riska berharap ia bisa menghapusnya dengan total.

Diki mengangguk paham. "Oke," katanya. "Itu yang terbaik buat lo dan semuanya."

Diki sedang mencoba menerima kenyataan. Ia baru saja mencobanya dengan kuat. Karena Diki benar-benar menunggu sesuatu yang semu itu dahulu.

"Jaga diri lo, Riska." Diki tersenyum simpul. Ia menatap wajah Riska. Hanya untuk mengingatkannya pada sosok yang dulu pernah ia kenali selama beberapa tahun lalu.

Riska tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dalam hati. Melepaskan Diki yang sudah berbalik dan berjalan menjauh darinya dengan hati enggan.

"Diki?" panggil Riska.

Laki-laki itu berbalik dan menatap Riska.

"Makasi.." guman Riska. Ia tersenyum kecil pada lelaki itu.

Diki membalas tersenyum. Lalu ia kembali berbalik dan pergi meninggalkan taman.

Riska memandangi punggung Diki yang semakin menjauh. Dalam hatinya ia menyesali pertemuan ini, namun sekaligus bersyukur karena ia pernah memendam rindu dan sekarang terbalaskan.

Apa yang harus ia lakukan di saat kehidupannya yang dulu sudah berubah. Ini bukanlah sebuah penantian cerita cinta Cinderella yang mengesankan. Riska sudah hidup dalam balutan kisah yang baru, juga dengan seseorang yang baru. Setidaknya itulah yang sedang Riska lakukan pada hidup, mencoba menerima dan menikmati apa yang tengah ia jalani.

"Jangan melamun," bisik suara lembut di telinganya.

Riska tersenyum tipis, lalu ia berbalik dan berhadapan dengan lelaki itu. Ia menggelengkan kepala pelan, lalu berkata, "Ayo, pulang."

Laki-laki itu tersenyum dan mencium kening perempuan di depannya. Dengan senyum lebar ia menggandeng tangan perempuan itu dan berjalan keluar taman bersama-sama.

The End~~

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang