Bab 18

275 33 3
                                    

"Pernah seseorang mengatakan, perasaan nyaman bukan sekedar genggaman tangan semata, namun juga bisik rindu yang nyata."

*

Tahanlah sedikit lagi.

Kata-kata tersebut terus menghantui otak Diki. Laki-laki itu tengah duduk sendiri di meja makan dengan segelas air putih di depannya. Semua anggota keluarganya sudah menyelesaikan makan malam dan melakukan aktivitas mereka seperti biasa. Ia melirik sejenak tangannya yang meninggalkan bekas luka karena kecelakaannya satu minggu yang lalu.

Suara-suara itu terus muncul di kepalanya. Akhir-akhir ini, otak Diki terus dipaksa bekerja untuk mencari jawaban-jawaban yang tak pernah ia temukan. Ia menatap kosong air putih yang permukaannya bergetar karena kaki Diki yang tak sengaja menyenggol kaki meja. Ia menghirup dan menghembuskan napas berkali-kali.

Ibu yang baru saja kembali dari dapur mencuci piring-piring dan peralatan dapur lainnya, melihat Diki duduk sendirian di meja makan. Wanita itu awalnya ingin segera ke kamarnya menyetrika pakaian suaminya yang sudah menumpuk selama tiga hari ini karena Aska, bayi kecilnya berulah manja padanya akhir-akhir ini.

"Mikirin apa, nak?" tanyanya memegangi bahu Diki membuat laki-laki itu menoleh dan membalasnya dengan senyuman. Dilihatnya mata anaknya itu sedang memikirkan sesuatu. Memang, sejak kepulangannya dari rumah sakit membuat ia lebih banyak diam dan mengurung diri di kamar sehabis pulang sekolah.

"Keingat sama anak sekolah yang nganterin aku ke rumah sakit aja, Bu," jawabnya lembut. Matanya kembali tertegun pada meja persegi panjang yang sudah bersih dari satu butir nasipun. Ia kemudian menegak air putihnya sampai habis, dia menggenggam gelas itu agak lama, lalu meletakkan kembali gelas itu di atas meja.

Ibu tersenyum kecut. Ternyata anaknya masih memikirkan hal itu. "Iya, ibu juga pengen ketemu sama dia dan ngucapin terimakasih karena sudah memberitahu kami tentang keadaan kamu," kata ibu tenang kemudian meraba pelipis Diki yang diperban. Ia terlalu bahagia selama ini, sampai ia lupa pada seseorang yang sudah menjadi perantaranya agar bisa bertemu anaknya kembali. Diki membiarkan tangan ibunya yang dingin dan lembab menyentuh lukanya yang diperban. Dia menatap ke dalam mata wanita terkasih itu, menerka-nerka apa yang sedang dipikirkannya.

"Dia kenal aku sama Kevin, tapi dia ngga nyebutin nama pas minta nomor ayah. Kevin juga lupa lagi nanyain nama dia," katanya lagi setelah lama hening di ruangan tersebut. Itulah yang membuat Diki memaksa Kevin datang ke rumahnya saat ia sudah pulang dari rumah sakit, meski sahabatnya sejak kecil itu mengangkat teleponnya dan beberapa kali menguap, namun tak mengurangi rasa penasarannya dan membiarkan Kevin kembali tidur.

"Ibu ngga tidur?" kata Diki kemudian setelah ibunya berhenti meraba pelipisnya dan sekarang mengelus bahunya keibuan. Perlakuan kecil yang selalu Diki rindukan jika di dekat ibunya. Ia akan selalu teringat masa kecilnya ketika ibunya mengelus bahunya sambil menyanyikan sebuah lagu sebelum dia tidur.

"Iya, ibu tidur sebentar lagi. Kamu juga harus tidur. Kamu masih butuh banyak istirahat." Ia menasehati putranya yang hanya membalasnya dengan anggukkan. "Aku tidur dulu ya, Bu," kata Diki singkat yang dibalas oleh wanita yang masih muda di umurnya yang ke tigapuluh tujuh tahun itu dengan senyum keibuan. Tanpa banyak bicara Diki berdiri dan melangkah ke kamarnya diiringi tatapan sendu ibunya. Sampai akhirnya tubuh Diki menghilang di balik pintu barulah ibu bangkit dan menuju kamarnya melakukan pekerjaannya selanjutnya.

Diki rebahan di ranjangnya. Ia menarik selimut hingga sebatas pinggangnya. Dia menerawang menatap langit-langit kamarnya yang terlihat samar-samar karena hanya ada lampu tidur kecil yang menjadi penerangan satu-satunya di kamarnya. Lagi-lagi suara yang pernah ia dengar muncul kembali di kepalanya.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Where stories live. Discover now