Bab 34

244 18 0
                                    

"Because it's you."

*

"Lo kenapa?" tanya Riska cemas saat wajah Diki muncul di balik pintu.

"Gue ngga apa-apa," kilah Diki tanpa menatap Riska.

"Diki kenapa?" tanya Riska lagi, kali ini suara agak meninggi.

Riska mendekat dan meneliti setiap memar dan luka sobekan di sudut bibir Diki.

"Aw!" erang Diki menjauhkan tangan Riska.

"Sorry," guman Riska. Segera dia menjauhkan tangannya dari wajah Diki.

"Lo mau ngapain?" tanya Diki tenang.

"Ini, gue mau balikin jacket lo." Riska menyerahkan jacket yang sudah rapi dia lipat. Tidak lupa, dengan iseng Riska sedikit penyemprotkan parfum miliknya dan bercambur dengan parfum baju Diki. Entah apa maksudnya, Riska hanya terkikik geli ketika dia mencium wangi parfumnya menempel di jacket Diki.

Diki menatap Riska sekilas, lalu dia menatap jacket di tangan Riska dan menerimanya. Dia melemparnya ke sofa di sebelahnya. "Sama-sama," kata Diki.

Riska mengerjap. "Eh? Makasih, ya," kata Riska lirih. Dia jadi malu karena Diki menyindirnya. Riska diam menatap wajah Diki. Luka memar di sudut bibir Diki membuatnya penasaran. Luka ini pasti baru ia dapatkan. Tentu saja, laki-laki itu baru saja pulang dengannya siang ini. Ini masih 3 jam lamanya setelah Diki mengantar Riska ke rumahnya.

"Lo berantem, ya? Sama siapa?" tanya Riska.

Diki mengerjapkan mata sekali. Dia mengalihkan pandangannya pada jalanan di depan rumahnya. Kemudian Diki menggeleng. "Jatuh di kamar mandi," jawabnya sekenanya.

Riska diam mendengar penuturan Diki. Dia masih mengamati wajah Diki seluruhnya, lalu matanya berhenti di dahi Diki. Ada sepercik darah segar mencuat ke permukaan kulitnya. Riska segera mengambil plester yang dia simpan di dalam tas selempangnya. Beruntung dia baru saja membelinya untuk di rekatkan pada bagian atas tumit kakinya agar tidak luka terkena pinggiran platshoes yang ia gunakan.

Dia menempelkan plester tersebut di dahi Diki. Laki-laki itu sempat tersentak ketika Riska menyentuhnya. Menatap wajah perempuan itu dari dekat membuat Diki menahan napas.

Perempuan ini, wajahnya begitu tenang. Bahkan Riska bisa tertawa beberapa kali hanya dalam sepuluh menit. Senyumannya yang khas akan keramahan di dalam dirinya membuat Diki pangling melihat senyuman itu. Sesekali Diki sempat terpaku, sekalipun itu hanya senyuman tipis walau bukan untuknya.

"Sakit?" tanya Riska tenang. Dia selesai menempelkan plester itu dengan mulus.

Diki tersentak. Kemudian dia menghembuskan napasnya pelan-pelan. Dia menggelengkan kepalanya.

Riska tersenyum singkat. Dia memegangi tali tasnya, salah tingkah. Dia tidak sedang menunggu tawaran diajak masuk oleh Diki. Hanya saja, Riska berdiri di sana untuk melihat wajah Diki. Berharap Diki tidak akan menatapnya sehingga Riska bisa berlama-lama menikmati ciptaan Tuhan yang sempurna di depannya. Garis wajah yang tegas, bola mata yang indah. Selalu mengingatkannya pada pertemuan pertama mereka. Walau saat itu Diki sedang marah, namun tidak mengurangi ketampanan di wajahnya.

Diki berdeham. "Lo mau masuk ngga?" gumannya.

Riska menganggukkan kepala lalu mengikuti Diki masuk ke dalam rumahnya. Kali pertama Riska berkunjung ke rumah Diki, ada Ibu Diki dan Aisyah kecil. Benar, anak perempuan itu. Riska tersenyum sendiri mengingat Aisyah memintanya untuk tinggal di rumah Diki.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang