Bab 7

583 61 15
                                    

"Gue Diki. Sorry ya, untuk tadi pagi udah bikin lo telat ke sekolah."

Riska tidak menyahut. Dia berguman tak jelas. Harus melarikan diri kemana dia saat ini. Memilih berjalan kaki, rumahnya jauh untuk waktu 30 menit di perjalanan. Salahkan Fadila yang tidak membangunkannya sewaktu tidur di kos cewek itu. Sekarang ia malah terjebak di halte bersama seseorang yang membuatnya nyaris tidak boleh masuk karena harus berdebat panjang dengan Pak Komar, satpam sekolah. Riska memilih berdiri di ujung halte. Padahal cowok itu membawa motor, tapi kenapa dia malah berhenti di sini.

Aduh. Kok si alien ngga pergi-pergi, sih. Mana kaki gue pegel lagi, rintihnya dalam hati.

Riska meninju-ninju pelan betisnya yang penat. Tak ada angkot yang akan mengantarnya pulang. Sementara cowok tadi masih duduk sambil membuka minuman kalengnya yang kedua. Riska jadi risih melihat setiap tegukkan yang memperlihatkan jakun cowok itu naik turun kemudian mendesah lega menikmati minuman dinginnya. Riska menelan ludah dalam-dalam. Keringat terus mengucur di dahinya karena suhu meningkat disekitarnya. Mati gue, serunya dalam hati. Digeleng-gelengkannya kepalanya berkali-kali agar tidak tergoda.

"Begini?" Suara Diki menggema di telinganya. Saat Riska membuka mata, ia terlonjak kaget mendapati cowok itu di hadapannya sambil menyuguhkan minuman yang tutupnya sudah terbuka. "Kalau mau, ambil aja kali. Gue beliin buat lo, kok," katanya tersenyum tulus.

*

Gadis ini nampak malu-malu, tapi terlihat jelas dari wajahnya ia kelelahan. Diki sengaja membeli minuman dingin saat ia lihat gadis itu berdiri sendiri di halte saat ia pulang sekolah. Ia merasa kasihan dan membelikan minuman tersebut untuknya, sekalian ia akan meminta maaf untuk kejadian tadi pagi.

Riska membuang mukanya ke samping. "Ngga usah," katanya pelan. Dagunya sengaja ia naikkan agar terlihat angkuh tidak membutuhkan bantuan apapun. Diki tergelak, cewek di depannya benar-benar lucu.

Apa yang salah? Riska menjadi risih saat cowok itu menertawainya, apa ekspresinya kurang terlihat sombong.

"Udah ngga apa-apa lagi, ambil aja. Gue tahu lo haus, ini buat lo kok," katanya lagi sambil menahan tawa. "E.. Riska.." sambungnya lagi ketika berhasil menemukan nama cewek itu lewat name tag di bajunya.

"Dari mana lo tahu nama gue?" sungut Riska curiga. Jangan-jangan cowok ini menguntitnya. "Tuh." Diki menunjuk dengan dagunya ke arah dada Riska. Gadis itu sontak menutupinya dengan kedua tangannya. "Apaan sih, lo," serunya galak disertai pukulan di kepala Diki.

Diki menggaduh pelan memegangi kepalanya yang terkena jitakkan yang lumayan terasa dari tangan mungil itu. Diusap-usapnya pelan sambil melirik cewek tersebut yang sudah berjalan sampai di ujung persimpangan mendahuluinya ke arah barat. "Lho?" Dia mengerutkan dahi bingung. Ada yang salah dengan menyebut nama gadis itu? Benar-benar cewek aneh.

Riska mengambil langkah seribu menjauhi tempat ia berdiri tadi. Kenapa sore ini jadi ikut-ikutan menambah kesialannya. Mulai dari bertemu cowok itu, berdebat dengan Pak Komar, masuk ruangan BK, sekarang terlambat pulang sekolah dan bertemu cowok mesum seperti dia. Riska berjalan secepat mungkin agar tidak dihantui oleh cowok beralis tebal tadi. Tunggu, dia juga punya senyuman yang manis.

*

Hari ini ada alasan untuk terlambat. Ujian memang sudah selesai dan tinggal menunggu hasil seminggu lagi. Tapi Bu Hanifah, guru kimia, menambah jam pelajaran di kelas Riska yang melewatkan satu materi. Mereka pasti hadir semua setelah ancaman ujian semester ini tidak akan tuntas.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Where stories live. Discover now