Bab 14

295 39 5
                                    

Beberapa orang nampak berlarian di lorong rumah sakit. Mereka tergesa-gesa menuju ruang inap dan melewati orang-orang yang ada di sekitar sana memperhatikan bingung. Seorang wanita berumur kepala tiga menghiraukan butiran keringat yang sudah mengalir dari dahinya. Pakaiannya yang sudah kusut dan hijab yang tidak teratur dibiarkan berayun.

Wanita itu langsung menjerit histeris saat sosok tubuh anaknya yang ia temukan terbaring dengan peralatan rumah sakit di tubuhnya. Matanya yang sedari dari memanas kini menumpahkan air hangat itu mengaliri pipinya. "Kenapa ini, nak?" teriaknya sambil mengguncang tubuh anaknya. "Pak, anak kita.." isaknya. Suaminya tersebut hanya diam menahan air matanya yang jatuh ke dalam kemudian memeluk istrinya. Laki-laki itu memandang dalam ke wajah yang kini berhiaskan perban di bagian dahinya dan goresan luka di pipinya.

Seorang gadis kecil menghampiri tubuh abangnya. Menggenggam tangan abangnya tanpa bicara apapun. Begitupun dengan kakaknya yang hanya diam melihat Ibunya yang menangis.

Dua orang perawat wanita datang membawa nampan kecil berisikan suntik dan botol bening. "Maaf, apakah Ibu keluarga pasien?" tanya salah seorang dari mereka.

"Iya. Saya Ibunya. Kenapa anak saya, suster?" Wanita bernama Marin, Ibu Diki menjawab.

"Mendengar dari orang yang ikut mengantar pasien ke sini, dia bilang, pasien mengalami tabrakan dengan sebuah mobil. Tapi dia tidak melihat kecelakaan tersebut. Hanya mengantarkan saja ke sini," jawab suster berkulit putih yang lebih tinggi. Suster yang satunya lagi sedang menyuntikkan sesuatu ke dalam infus di tangan Diki.

Marin terisak kembali mendengar cerita dari suster tadi. Dia tidak menyangka anaknya akan mengalami kejadian menyakitkan seperti itu. Bagai dihantam sebuah benda besar, Marin memegangi dadanya yang sakit. "Siapa yang mengantarnya, suster?" tanya Fikri, ayah Diki.

"Dia teman dari pasien, memakai seragam SMU dan namanya Riska," sahut suster yang sudah selesai dengan pekerjaannya tadi dan berbalik menatap keluarga pasien yang gusar. Begitupun dengan anak-anak mereka hanya diam mendengar penjelasan dari suster tersebut.

"Lalu dimana dia sekarang, suster?" tanya Fikri lagi.

"Dia sudah pulang tadi setelah meninggalkan nomor telepon keluarga pasien."

Ayah Diki mengangguk-angguk mengerti dan mengucapkan terimakasih, kemudian kedua suster tersebut keluar dari kamar inap.

Marin mengusap-usap dahi anak pertamanya yang masih menutup matanya. Sepertinya Diki terlalu lelah membuka matanya selarang. Menurut informasi, Diki tidak pingsan dari kecelakaan tersebut. Marin tidak bisa membayangkan bagaimana sakit yang dirasakan anaknya saat itu. Hatinya hancur. Ia tak bisa melihat apapun sekarang.

"Abang Diki kenapa belum bangun, Yah?" tanya gadis kecil yang meringkuk di paha Ayahnya.

"Bang Diki mengantuk, sayang. Besok dia akan bangun," sahut sang Ayah kemudian berjongkok dan menyamai tingginya dengan gadis belia berambut panjang di depannya. "Besok bang Diki antar Aisyah ke sekolah, kan?" tanyanya lagi.

Ayahnya mengangguk dan memberikan senyum hangat sambil mengusap puncak kepala anak gadisnya. "Iya. Besok abang Diki akan antar kamu ke sekolah." Si anak tersenyum manis kemudian memeluk Ayahnya. Matanya terus memperhatikan mata Diki yang tertutup. Pandangannya beralih ke selang putih yang menggantung di tiang besi dari sebuah kantong berisikan air bening yang disambungkan ke punggung tangan Diki. Dia tahu Ayahnya berbohong Diki akan mengantarnya ke sekolah besok pagi.

*

Riska tidak bisa tidur walaupun tubuhnya begitu lelah malam ini. Diperhatikannya kedua telapak tangannya yang bersih. Berkali-kali ia mencoba tidur, sebanyak itu pula kejadian sore tadi mengganggu pikirannya. Ia menutup mata, tubuhnya merinding mengingat Diki yang dipenuhi goresan dan darah yang mengalir dari sela-sela lukanya.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang