Bab 16

296 34 0
                                    

"Kamu harus tahu kalau Rani itu ngga benar-benar baik sama kamu," kata Dwira memulai pembicaraan saat mereka duduk di depan emperan sebuah toko.

Sebelumnya Riska ingin mewujudkan niatnya untuk melihat Diki di rumah sakit, namun tiba-tiba Dwira datang membawa kabar dangkal untuknya. Rani memanfaatkannya untuk dendam sepupunya? Riska pikir itu adalah gadis yang ia temui tadi di Mall dengan Rani. Awalnya Riska menyangkal tentang itu. Rani tidak mungkin melakukannya.

"Kamu tahu, Rani benci banget sama aku karna pernah pacaran sama sepupunya yang tadi," Dwira mulai menceloteh. "Aku memang pacaran sama sepupunya. Tapi aku ngga pernah ngelukain Tesa sedikitpun. Aku juga ngga tahu kalau dia bakal berbuat senekat itu," jelasnya panjang lebar sambil menatap Riska penuh harap agar Riska mempercayainya.

Riska tak menyahut. Otaknya berpikir keras mencerna setiap kata-kata yang dilontarkan Dwira. "Tahu dari mana?" tanya Riska bersuara setelah lama hanya membalas Dwira dengan bungkam.

"Fadila," jawab Dwira.

Riska mengernyit bingung. Bagaimana Fadila bisa tahu sedetail itu. Apa yang mereka sembunyikan darinya. Dia kembali diam tak mau menatap lawan bicaranya.

Bukankah gadis pacar Diki. Ia jelas mengingat bagaimana gadis itu bertengkar dan menjemput Diki waktu itu. Kenapa bisa mereka bertemu dengan cara seperti ini. Apalagi gadis itu mantan Dwira. Rasanya tidak masuk akal jika ia ada kaitannya dengan mereka berdua melalui Rani. Riska mengacak rambutnya. Memikirkan itu membuat ia bingung harus meminta penjelasan pada siapa.

Rani. Riska membatin. Ia teringat wajah Rani yang selalu ramah menerima permintaan Riska untuk mengantarnya pulang. Selalu siap mendengar apapun darinya. Hatinya masih bertolak dengan cerita yang belum tentu benar.

Ia menghela napas. Sudah larut malam. Ia harus tidur.

Riska tahu ia tidak benar-benar baik-baik saja untuk berjalan sendiri menuju rumah sakit siang ini. Mama sudah cerewet memintanya di rumah saja. Karna Riska selalu demam jika sudah bermimpi buruk dan membuat suhu tubuhnya menaik selama beberapa hari.

Hatinya keras sekali untuk keluar dan melihat keadaan Diki di rumah sakit. Entah apa yang membawanya berjalan meski otaknya sudah menolak untuk tidak melakukan apa-apa di hari libur ini.

Riska menarik selimutnya dan memeluk boneka kelinci putihnya yang besar. Sejenak dilihatnya wajah boneka kelinci yang sangat lucu dengan hidungnya yang berwarna hitam. Semua anak perempuan menyukai boneka, mereka akan mendambakan teman tidur untuk dipeluk saat malam hari.

Boneka yang diberikan Waldy saat ulang tahunnya yang ke 16. Itu setahun lalu saat mereka masih berpacaran.

"Kenapa kelinci?" tanya Riska saat ia membuka bungkus kado besar setinggi pinggangnya.

"Kamu kan suka kelinci." Waldy memasang senyum termanisnya bersama mata hazel yang selalu mampu menghipnotis Riska jika sudah membulat sempurna menatapnya.

Riska mengedikkan bahu. Memang dia menyukai binatang kecil bertelinga panjang dan menyukai wortel itu, namun ia tidak pernah memelihara kelinci di rumahnya. Ia lebih sering ke rumah Dila, sahabat kecilnya untuk melihat beberapa peliharaan gadis itu.

Waldy juga pernah mengajaknya ke perternakan kelinci di sudut kota. Hampir setiap akhir pekan mereka habiskan waktu di sana hanya untuk memberi makan kelinci-kelinci lucu tersebut yang sudah mereka beli sebelumnya. Di sana, dibolehkan bagi pengunjung untuk memberi makan kelinci yang sudah mereka bawa dari luar perternakan. Tentunya, marga tersebut tidak memiliki banyak stok untuk memberikan kelinci-kelinci tersebut makan setiap saat.

Ia kemudian memeluk boneka tersebut sambil tersenyum senang melihat Waldy. "Makasih," katanya.

Mata Waldy menyipit saat ia tersenyum lebar begitu. Hal yang selalu bisa melelehkan Riska, lebih dari matahari yang mampu membuat es mencair dalam waktu yang berangsur lama.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Where stories live. Discover now