Epilog

233 13 0
                                    

Seorang gadis muda sedang duduk bersila di atas rerumputan taman. Kepalanya menunduk menatap tangannya yang sedang memainkan rumput-rumput kecil taman. Senyum tipis menghiasi wajahnya yang cantik. Ia sedang menunggu seseorang.

Sementara di sisi lain taman tampak seorang lelaki sedang berdiri menatap ke arah dalam taman. Kancing kemeja yang ia biarkan terbuka terbang terbawa angin yang berhembus cukup kencang. Kedua tangannya terkulai di kedua sisi pahanya. Matanya terpaku menatap wajah perempuan itu. Sudah begitu lama rasanya ia tidak melihat wajah itu. Senyum tipis yang dulu mampu menggetarkan hatinya. Kinipun masih ia rasakan itu. Walaupun sudah 2 tahun berlalu tidak dia temukan garis wajah itu lagi.

Di saat yang bersamaan, beberapa detik berselang, kepala Riska terangkat untuk menatap sekeliling taman, melihat apakah seseorang yang ia tunggu sudah ada di sekitar taman atau belum, kepala Diki tertunduk. Mata Riska menyipit menatap sosok yang berjarak cukup jauh dari tempat dia duduk.

Bibir Riska terkatup rapat. Matanya tidak mampu menjelaskan isi hatinya. Dengan gerakan terbata, Riska berdiri dari duduknya yang menghadap lurus kepada laki-laki itu.

Diki menghela napas panjang. Dia ingin berlari ke sisi Riska dan mengatakan sesuatu. Menyapa perempuan itu, mendengar suaranya. Diki menggeleng pelan. Dia merasa tidak perlu ke sana.

Sekali lagi Diki menghembuskan napas panjang. Sebelum pergi dia ingin menatap wajah Riska sekali lagi. Diki mengangkat kepala, darahnya berdesir cepat. 
Sekarang mereka saling menatap. Ada pesan tersimpan yang mata mereka coba sampaikan namun tak saling mengerti isyarat.

Mata Riska mengerjap sekali. Ia menelan ludah dengan susah payah. Semua kata-kata tercekat ditenggorokannya. Tidak ada yang mampu Riska lakukan selain mematung di tempat.

Bisa Riska rasakan kalau detak jantungnya tidak terkendali lagi ketika Diki berjalan perlahan masuk ke dalam taman. Riska merasa ia perlu berlari dari tempat ia berdiri dan menghilang segera, namun tatapan Diki mampu membekukan seluruh otot-ototnya.

Ketika jarak mereka hanya terpisah setengah meter, saat itulah Riska tidak bisa merasakan jantungnya berdetak lagi.

Ada garis senyum tipis yang membekukan tatapan Riska. Ada bola mata boneka yang dulu mampu menggerakkan hatinya. Rasanya getar-getar dahulu sedikit mengguncang pertahannya.

"Hai, lama ngga ketemu," sapaan ringan keluar dari bibir tipis Diki. Lalu diiringi senyum yang menawan, sama seperti dulu.

Riska agak terkejut. Ia mengerjapkan mata beberapa kali. Bibir Riska bergetar, ia ragu menjawab seperti apa. Apakah ia akan menjawab seperti teman yang sudah lama tidak bertemu pandang, atau sebagai bagian masa lalu yang pernah menyimpan rasa?

Riska tersenyum canggung. Dengan helaan napas dia menjawab singkat, "Baik."

Diki kembali tersenyum. Perasaan Diki sedikit lega karena permintaan sederhananya terkabul. Dia tertawa kecil sambil menatap pemandangan di belakang punggung perempuan di depannya.

"Gue ngga pernah lihat lo di liburan semester sebelumnya," kata Diki menatap Riska.

Riska tersenyum tipis. Sambil menunduk dia berkata, "Iya. Ini pertama kali gue pulang di liburan semester setelah liburan semester 1."

Diki mengangguk mengerti. Kedua tangannya dia simpan di dalam saku celanya. "Senang bertemu kembali," kata Diki.

Kepala perempuan di depannya tertunduk. Apakah mungkin Riska tidak merasa senang bertemu dengannya. Barangkali Riska melupakannya terlalu cepat setelah cukup lama tidak saling bergaul lagi.

"Ngapain di sini?" tanya Diki kemudian setelah lama diam.

Alis Riska terangkat. Dia mengulum bibir sebentar, lalu menjawab singkat, "Ngga ada."

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Where stories live. Discover now