Bab 26

302 32 0
                                    

"Ini seperti permainan teka-teki dari angka dadu yang muncul sesuka hatinya ketika kita bermain ular tangga. Dia menjadi satu-satunya penentu ketika naik tangga dan penyelamat dari lompatan angka. Juga, dia.. bisa menjadi musuhmu dan meloloskanmu ke dalam mulut-mulut ular yang lapar. Jadi, bermainlah dengan pintar bersama dadumu."

*

Seorang lelaki muda tengah duduk mendongak memperhatikan awan-awan yang membentuk berbagai rupa di badan angkasa. Matanya hanya mengamati, mulutnya tidak ikut berkomentar tentang bermacam gambar yang dibentuk oleh awan sejak tadi. Pandangannya hanya fokus pada kumpulan kabut putih yang menggumpal sejak ia duduk di depan rumah. Liburan akan berakhir dalam dua hari lagi. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Baginya liburan ini hanyalah libur menghabiskan waktu tanpa melakukan apa-apa, termasuk libur dari tugas sekolah.

Diki mendesah pelan. Raut wajahnya sendu. Dia tidak memastikan memikirkan apapun di benaknya sejak setengah jam yang lalu dia melakukan hal itu. Duduk termangu dan tidak berniat untuk beranjak atau menggumankan sebuah lagu. Dia persis seperti mayat hidup yang memelototi langit yang tidak bersalah sama sekali.

"Kenapa, bang?" tanya sebuah suara. Lalu orang itu mengambil tempat di sebelah Diki.

Diki menoleh sebentar tanpa menyahut, lalu kembali menatap langit seperti tadi. Beberapa detik kemudian dia berguman, "Ngga ada."

"Mikirin apa, sih?" tanya perempuan yang bernama Yola, adik Diki tersebut. Dia menatap lamat wajah abangnya yang sudah sejak tadi dia perhatikan duduk di kursi kayu di depan rumah yang hanya memandangi langit.

Laki-laki itu berdeham kecil lalu menjawab asal, "Belum tahu."

Yola berdecak dan menyikut lengan Diki dengan malas, lalu dia mendongak menatap langit, melakukan hal yang sama dengan Diki. "Kakak yang kemaren itu siapa ya, bang?" tanyanya sambil mendesah.

Dahi Diki berkerut, lalu kepalanya berputar 90 derajat menatap wajah adiknya. "Kenapa?" Dia balik bertanya. Alisnya terangkat sebelah, bingung. Tiba-tiba adiknya bertanya tentang perempuan yang Diki bawa ke rumah. Karena biasanya Yola adalah tipikal cuek dengan masalah orang lain. Setiap kali Diki membawa teman-teman atau mungkin cewek ke rumahnya Yola tidak akan menggubris apapun.

"Aku sering lihat dia. Abang kenal dia dari mana?" Yola juga memutar kepala dan membalas tatapan bingung Diki.

Kerutan di dahi Diki semakin bertambah. Sekarang Yola juga mengenal perempuan itu. Sering lihat dia? Dimana? Apakah sekarang adik perempuannya sudah berubah menjadi seorang penguntit. "Kenapa emang?" Mata Diki menyipit menatap adiknya curiga.

Yola memutar matanya malas, lalu mengalihkan pandangannya. "Abang pacaran sama dia?"

"Hei. Maksud kamu apa? Jawab dulu pertanyaan abang," tekan Diki mengangkat kedua tangannya, bentuk protesnya atas pertanyaan adiknya barusan.

Yola tergelak melihat reaksi Diki. Padahal dia tidak bermaksud apa-apa menanyakan hal itu. Setahunya, Diki hanya akan membawa seorang perempuan ke dalam rumah hanyalah yang digelari ceweknya dan berstatus sebagai pacar Diki. Jika itu hanya sebatas teman saja dan mereka akan bertamu hanya sampai di depan pintu, kecuali belajar kelompok. "Kok wajahnya aneh gitu, sih? Haa.. tahu nih." Yola baru saja memikirkan untuk mengerjai abangnya ini.

"Ke-kenapa? Biasa aja." Diki tergagap sambil meraba wajahnya. Masih baik-baik saja, tidak ada yang hilang dari bentuk hidung, mata, dan bibirnya. Setelahnya Yola tertawa terbahak-bahak melihat kelakuannya barusan. "Kenapa, sih?" bentak Diki kesal.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Where stories live. Discover now