Bab 35

249 20 0
                                    

"Kesalahan besar yang pernah kulakukan seumur hidup adalah; terlambat mengenalmu dan mengetahui perasaanku."

*

Diki menatap papan tulis tidak fokus. Semua ocehan dari guru Bahasa Indonesia di depan tidak dia gubris meski Bu Laura menerangkan pelajaran sambil sesekali bertanya.

Nanda yang duduk di samping Diki dari tadi hanya memperhatikan wajah datar Diki. Dia tahu Diki sedang memikirkan sesuatu. Hanya saja Nanda tidak tahu bagaimana cara dia bertanya.

Diki mengerjapkan matanya sekali. Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Iya Diki?" kata Bu Laura.

"Izin, Bu," jawab Diki datar.

Bu Laura mengangguk. Kemudian dia kembali mengalihkan padangannya kepada siswa-siswinya yang lain.

Nanda menatap Diki dengan kening berkerut. Matanya mengantar Diki sampai laki-laki itu hilang di balik pintu. Kevin dan Aris menoleh ke belakang.

"Kenapa tuh manusia?" tanya Kevin.

Nanda hanya mengangkat bahu, tidak tahu. Lalu dia kembali memperhatikan Bu Laura yang sedang menerangkan materi EYD. Kevin dan Aris pun tidak berkomentar lagi. Mereka kembali menatap ke depan kelas.

Diki berjalan menyusuri lorong koridor kelasnya. Kepalanya tertunduk menatap ubin-ubin berwarna putih polos sepanjang jalan. Diki duduk di anak tangga labor komputer yang bisa menatap langsung ke lapangan basket.

Tidak ada yang menghuni lapangan basket. Semua siswa-siswi sedang mengikuti kegiatan kelas di jam pertama ini. Mata Diki menerawang menatap pohon-pohon di dekat ruang OSIS. Dia menghela napas, gusar. Hati Diki merasa tidak tenang sejak kejadian dua hari yang lalu.

"Tidak ada yang tahu kalau Riska mengidap penyakit PTSD, kecuali kami satu keluarga. Otaknya akan mengulang-ulang kejadian itu terus-menerus sesuatu yang berhubungan dengan kecelakaan serta darah yang membekas di jalan," kata Mama Riska saat itu.

Diki duduk di ruang keluarga bersama Mama Riska. Diki hanya diam menunggu wanita itu melanjutkan ceritanya.

"Waktu Riska masih di SMP. Dia memiliki seorang teman bernama Dian. Riska adalah anak gadis kami satu-satunya. Jika ada teman perempuan yang satu ide dan membuat dia nyaman, Riska akan menganggap temannya itu sebagai kakak atau adiknya sendiri." Mama Riska menghela napas sejenak.

Setiap kata demi kata yang keluar dari bibir Mama Riska membuat Diki terdiam. Dia memasang telinganya tajam-tajam agar tidak satupun kata yang terlewat di indra pendengarannya.

"Kamu adalah yang pertama tahu tentang ini selain kami," kata Mama Riska. "Rani, Kya dan Fadila hanyalah sebatas teman Riska di SMA. Riska sangat pemilih untuk teman bercerita. Merekapun jarang Riska bawa ke rumah. Bahkan sama Tante pun dia tidak akan banyak omong masalah mimpinya tentang Dian yang terkadang sering datang di jam yang sama."

"Maksud Tante?"

"Dulu selama satu bulan sejak Dian meninggal, Riska sering memimpikan kejadian kecelakaannya. Karena dia adalah satu-satu saksi mata yang melihat kejadian itu. Riska akan sering terjaga saat jam 2 malam jika dia bermimpi tentang Dian."

"Sejak itu, setiap kali Riska melihat kecelakan yang fatal seperti tadi, dia akan pingsan karena otaknya tidak bisa menerima apa yang dilihatnya. Dulu Riska menarik diri dari pergaulannya di sekolah. Kadang dia menjadi cepat marah, berkelakuan aneh, seperti mengulang-ulang kejadian yang dia alami. Kayak dia berdiri di tepi jalan dan melihat ke arah kanan. Lalu dia akan mundur ke trotoar, kemudian berlari ke seberang jalan dan duduk di sana berlama-lama." Mama Riska menghela napas panjang. Tidak menyangka bahwa anak gadisnya pernah melakukan hal tersebut dan membuatnya putus asa. Kepalanya tertunduk menatap anaknya yang tertidur di sampingnya. Dengkuran halus lolos dari bibir mungilnya.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora