Bab 36

238 13 0
                                    

"Sebenarnya, yang kita rasakan ini apa? Apa kamu merasa terluka? Kalau begitu akupun sama."

*

Rani memperhatikan Riska dari depan kelasnya sejak jam istirahat tadi. Rani membiarkan Riska keluar saat 10 menit akan istirahat. Entah mengapa, wajah Riska masuk ke kelas hari ini membuat pikirannya tidak tenang. Riska terlalu berlebihan sampai tidak mendengar guru memanggilnya padahal kelas sudah sangat sunyi sekali karena perhatian siswa-siswi teralihkan sepenuhnya kepadanya. Saat Rani menyikutnya barulah Riska tersentak dan meminta maaf kepada guru yang mengajar pagi ini. Setelah itu dia kembali melamun dengan menatap Bu Desi, guru Fisika yang kurus dan berkacama. Suaranya begitu lembut hingga tidak dapat menembus pendengaran Riska yang sudah diambil alih oleh aktivitas mengkhayalkan sesuatu.

Rani memagut tangannya di depan dada. Dia sangat yakin pada dirinya sendiri, tebakannya tidak akan salah. Rani menghentakkan kakinya ke lantai, kesal. Tangannya terkepal di dalam lipatan tangannya. Ternyata kecurigaan Rani selama ini benar. Diki sama saja dengan sepupunya. Tidak ada ubahnya ketiga laki-laki itu di mata Rani.

"Riska kenapa?" tanya Fadila di balik bahu Rani. Dia dengan Kya baru saja kembali dari kantin memberi makan cacing-cancing perut mereka yang kelaparan.

Rani tidak menjawab. Dia hanya menatap Riska lama. Sama dengan yang dia lakukan sejak tadi.

"Udahlah, Ran. Deketin aja kenapa, sih? Pakai larang-larang kita segala. Yuk, Dil. Kita samperin Riska," ajak Kya sudah tidak tahan. "Ntar keburu dia kesambet lagi," tambahnya.

"Tunggu!" sergah Rani.

Fadila dan Kya menoleh bersamaan dengan alis terangkat.

"Lo lihat, deh," kata Rani sambil menyipitkan matanya menatap Dwira mendekat ke arah Riska.

Mereka berdua juga menoleh ke arah yang Rani maksud. Mata mereka membulat sempurna melihat Dwira duduk di samping Riska. Yang paling mengejutkan mereka bertiga, wajah Dwira nampak lebih ramah dari sebelumnya mereka lihat.

"Ini gimana, dong. Cepetan kita ke sana," seru Fadila panik.

"Gue susah napas," ucap Kya, matanya menatap Dwira tak berkedip.

"Eh, tunggu, tunggu. Kita lihatin aja dulu," kata Rani menahan mereka berdua.

"Lo gila? Kalau terjadi apa-apa sama Riska gimana?" bentak Fadila. Entahlah, Fadila menjadi sangat posesive terhadap Riska.

"Perasaan gue kali ini, baik," kata Rani yakin.

Melihat bagaimana Dwira tersenyum kepada Riska membuat Rani curiga, namun juga sekaligus lega.

Akhirnya Fadila dan Kya diam saja. Walau sesekali mereka menggerutu melihat ke arah Dwira. Mungkin kebencian sudah tertanam di hati mereka masing-masing sejak laki-laki itu kurang ajar kepada teman mereka.

Benar saja, Dwira tidak macam-macam sama sekali. Dia malah terkadang tertawa kecil ke arah Riska, lalu tersenyum hangat. Sesekali dia menatap ke mata Riska saat berbicara, atau dia akan menggaruk kepala belakangnya seperti salah tingkah. Itu adalah tingkah yang wajar. Tidak ada sama sekali tanda-tanda Dwira akan menyentuh Riska apalagi menyakitinya.

Tidak beberapa lama, Dwira pergi dari sana. Entah kemana perginya, Rani, Fadila dan Kya segera mendekati Riska dengan hati-hati.

"Oi! Kenapa lo?" Kya menepuk bahu Riska seperti kawan lama.

"Eh?" Riska mengerjap kaget. Lalu dia melempar senyum. "Ngga ada," jawabnya.

"Kesambet lo, Ka. Sendirian gini. Lagian kita ke kantin lo malah duduk ngelamun di sini. Kenyang emang makan angin doang," seloroh Fadila untuk menghangatkan suasana.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Where stories live. Discover now