Bab 4

871 89 15
                                    

Jika waktu tidak lagi memihak pada kedua rasa yang sudah terbelah. Lalu kenapa kita masih saja mempertahankan lagi rasa sakit yang sama?

*

Ada masanya, dimana kita berada di tempat untuk hal berguna. Ada pula masa kita pergi dengan alasan yang sama juga.

Entah itu berita buruk atau dia harus senang dengan cerita Viska saat mereka bertemu di depan perpustakaan.

"Dia masih nyimpan hadiah dari lo waktu itu. Dia bilang ini kenang-kenangan terindah yang dia punya," begitu tutur Viska. Riska hanya tersenyum tipis mendengar itu. Dia tidak tahu harus senang , bahagia, atau tertawa sakit saat itu.

"Ya, biar gue punya cewek lain yang penting gue masih nyimpan perasaan gue buat Riska rapi-rapi di sini. Di hati gue," tambah Viska lagi mengulang kata-kata Waldy yang disebut padanya.

Riska berjalan malas sambil menendang-nendang batu-batu kecil di jalan. Ada rasa yang lain di hatinya. Haruskah ia kembali pada rasa itu? Mungkin jika ia berlari meraihnya, perjuangannya akan diterima kembali?  Sudahlah. Keterlambatan tetap harus diskors karena kelalaian. Begitupun perasaan. Ia harus rela mengorbankan yang sudah terlepas dari genggaman.

Sebuah motor matic berwarna merah melaju pelan dari arah berlawanan. Riska mengangkat kepala dan melihatnya dengan tatapan datar. Matanya menyipit. Tidak. Memang sipit, tapi sedikit. Ada sarat tersembunyi di matanya, menatap Riska, antara iba, penasaran, atau biasa saja. Tapi bagi Riska, itu hanya tatapan datar yang tak memiliki pengaruh apa-apa padanya.

Hanya lima belas detik aksi tatap-tatapan pertemuan mata mereka di jalan pulang membuat keduanya sama-sama membuang muka dan saling melewati. Motor itu sudah berlalu di belakangnya. Sedetik kemudian langkahnya berhenti, ia baru saja mengingat kejadian yang hampir melenyapkan nyawanya beberapa hari lalu.

Riska berbalik dan tangannya mengepal. "Ck, dia orangnya. Sialan, kok gue lengah, sih!" kesalnya setelah ingat betul wajah malaikat kematiannya hari itu. Dia menghembuskan napas berat. Pikirannya kini terfokus pada batu yang ia tendang tadi.

Kerikil-kerikil kecil berterbangan rendah di atas aspal, berpindah tempat karena terbawa angin yang juga ikut menerbangkan rambut hitam kecoklatan Riska. Dibiarkannya angin menyentuh wajahnya dengan lembut siang ini. Dia tersenyum kecut, menyipitkan mata menantang matahari yang sudah merentang ke barat, searah dengan langkah kakinya.

*
Riska membaringkan tubuhnya yang lelah di kasur. Ia sudah selesai mandi dan membereskan kamarnya yang penuh dengan kertas coretan tangan. Tadinya dia menghabiskan puluhan lembar kertas putih kosong hanya untuk ia coret dengan berbagai garis-garis samar yang tak jelas maksudnya.

Drkk.. Drrk..
Ponselnya bergetar.

Waldy? Dahinya berkerut. Seketika jantungnya berdetak lebih cepat. Ada apa cowok itu meneleponnya, itu membuat otak Riska bekerja beruntun mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalanya.

"Hallo," sapa suara di seberang sana.

"Ya," sahut Riska enggan.

"Lagi apa, Ka?"

"Tiduran. Kenapa?"

"Nanya aja, sih. Udah makan?"

"Lo ngga salah pencet nomor, kan? Ada apa lo nanya-nanya gue?" Riska mulai curiga. Kenapa cowok ini menanyakan hal yang sudah tidak enak didengar lagi saat keduanya punya perasaan canggung untuk memulai bicara.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Where stories live. Discover now