Eriska Febri

338 16 0
                                    

Eriska Febri POV

Tidak ada hal yang menarik dengan berputar-putar di rumah. Aku benar-benar bosan berjalan dari kamar, dapur, ruang tamu, dan kamar mandi. Ah, menyebalkan kedengarannya. Tapi aktivitas itu pasti semua orang juga melakukannya.

Aku mengambil kursi dan memutarnya duduk di dekat jendela. Aku menerawang menatap halaman rumahku.

Sudah 3 minggu Ujian Nasional berakhir. Tidak ada yang dapat aku lakukan. Papa tidak mengizinkanku untuk bekerja di toko-toko baju atau mini market untuk sekedar mengisi waktu luangku yang terbuang sia-sia saja di rumah. Ya setidaknya aku mempunyai kesibukan sementara menjelang tes ini-itu untuk melanjutkan studyku dimulai.

Aku memutar ulang memori lama yang baru-baru ini berlalu. Tentang kisah cintaku, tentang persahabatanku bersama Rani, Fadila dan Kya. Tentang kisah patah hati yang baru-baru ini aku dapatkan.

Entah mengapa aku bisa bertemu dengannya. Kami berbeda sekolah dan tidak ada alasan untukku berlama-lama berurusan dengannya.

Namun dari waktu ke waktu, ada saja hal yang terjadi membuatku semakin mengenal dirinya.

Diki bilang ini sangat menarik, namun bagiku ini aneh dan rumit. Bagaimana mungkin aku bisa bertemu dengan salah satu anggota keluarga Waldy lagi. Parahnya aku malah menaruh hati kepadanya.

Sebenarnya aku juga tidak berniat untuk lebih dekat dengannya. Mungkin ini bukanlah sebuah kebetulan, karena setiap kali aku terlibat percakapan dengannya, setiap itu pula aku menemukan sesuatu yang membuatku penasaran.

Bagaimanapun juga aku tidak punya daftar hidupnya. Jadi aku tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk menghindari bertemu dengannya. Lalu kenapa setiap kebetulan itu membuatku merasa nyaman berada di sisinya.

Apalagi saat kami bersama di bawah payung sore itu. Hal mengejutkan yang Diki lakukan adalah menggenggam tanganku. Aku sangat gugup, rasa hangat yang Diki salurkan lewat tangannya membuatku tidak kuat ingin cepat-cepat sampai di rumah. Namun jauh di dalam hatiku aku merasa begitu nyaman dengan perlakuannya. Di dekat Diki membuatku merasa aman.

Hari di mana aku menemukannya tergolek lemah dengan darah di sekitar pelipisnya membuat hatiku teriris. Tidak selayaknya aku menahan tangis ketika merasakan tangan Diki menggenggam lemah tanganku. Sungguh, tidak bisa aku bayangkan jika Diki tidak pingsan sejak pertama dia kutemukan berada di tengah-tengah kerumunan orang banyak.

Bahkan ketika Diki menelpon beberapa kali terus membuatku penasaran untuk apa dia mencari tahu tentang aku. Karena aku bukan penyelamat hidupnya. Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya menemaninya di ambulan dan memperhatikan wajahnya yang damai tertidur pulas di ranjang rumah sakit. Karena itu aku memutuskan untuk menelepon salah satu teman Diki, Kevin--dia baru-baru ini putus dengan temanku Wulan dan aku yakin Wulan memiliki nomor laki-laki itu--dan meminta nomor telepon orang tua Diki.

Tidak ada maksudku meninggalkan Diki sendirian di rumah sakit. Hanya saja aku tidak ingin menatap Diki berlama-lama. Wajahnya yang damai, garis wajahnya yang tegas. Pahatan Tuhan yang sempurna. Jadi aku takut jatuh hati kepadanya.

Suatu kebetulan aku bertemu dengannya pada insiden tabrakan siang itu, berjalan bersamanya di bawah payung, dia membawaku berjalan-jalan dengan motor barunya ke gedung parkiran kota, dan waktu lainnya lagi.

Entahlah, kenapa aku jadi terus memutar ulang memori ini setiap hari. Kian membuatku dilema saat dia muncul di kepalaku.

Sejujurnya aku ingin sekali menjawab setiap perkataannya waktu itu. Aku ingin berbalik dan memeluknya. Tapi tubuhku membeku oleh hujan. Apa salahnya aku diam? Biarkan saja aku begini mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirnya.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Where stories live. Discover now