Bab 6

607 72 15
                                    

Pagi ini Diki bangun lebih lama dari biasanya. Entah kenapa, ia jadi ingin bermalas-malasan di kasurnya. Menghabiskan masa dengan bergelut di balik selimut tebalnya. Ibu tidak berhenti memanggil namanya dan menyuruh mandi, wanita terkasih itu juga sudah selesai memasak sarapan untuk anak-anaknya. Setelah puas memeluk selimut juventusnya yang hangat selama 15 menit, ia bangkit dan menyambar handuknya segera menuju ke kamar mandi.

Air mengalir deras dari keran, ia mengguyur tubuhnya dengan air dingin dan merasakan kesegaran pagi ini. Tiba-tiba pikirannya teringat pada gadis yang duduk di taman saat ia bertemu Dwira minggu lalu. Gadis yang sering ditemuinya setiap pergi sekolah di jam yang sama setiap harinya.

Karena merasa penasaran, setelah ia pergi meninggalkan Dwira, ia sengaja tidak langsung pulang. Dari tempatnya mengintip, ia melihat Dwira berjalan mendekati gadis yang tengah termangu menatap ke arah jalan. Alis Diki bertaut samar, Dwira mengenal gadis berambut kecoklatan itu. Mereka tampak berbicara formal, sepertinya mereka tidak terlalu dekat untuk dibilang memiliki hubungan yang spesial. Diki manggut-manggut melihat pemandangan dua sejoli di bangku taman tersebut. Yang lebih membuatnya penasaran, cara Dwira memandang lawan bicaranya berbeda.

Diki berusaha menghilangkan berbagai pertanyaan yang menggerogoti otaknya seputar gadis yang ia tahu berbeda sekolah dengannya. Ia mempercepat mandinya dan berlarian menuju kamar dengan handuk yang dilingkarkan dipinggangnya.

"Cepat, Bang. Yola udah terlambat banget, nih." Yola, adik Diki yang pertama sudah mengomel sembari mengetuk-ngetuk pintu kamarnya. "Iya, sabar," sahut Diki dari dalam. Si cerewet kecil itu selalu saja memaksanya untuk cepat mengantarnya ke sekolah. Padahal ini masih 30 menit lagi bel masuk berbunyi.

Setelah rapi dengan seragam putih abu-abunya, Diki menyampirkan tasnya di bahu kanan dan melenggang keluar menuju meja makan. Dilihatnya Ibu sedang menyuapi bubur untuk adik kecilnya yang masih berumur 18 bulan, Aisyah yang menggemaskan.

"Cepat Bang. Kenapa sih, lelet kayak cewek," sewot Yola lagi menghinggapi Diki di meja makan. Ditatapnya abangnya yang makan dengan wajah tenang dan khidmat. "Bentar cerewet. Ngga sabaran banget, sih," sahut Diki terus mengunyah roti selai coklatnya tanpa melihat. Itu membuat Yola semakin cemberut dan beranjak dari sana meninggalkan abangnya dengan perasaan kesal.

Diki mengecek ponselnya, tidak ada pesan apapun di sana. Ia menghembuskan napas kasar, tugasnya pagi ini mencari gadis itu dan menjelaskan semua kekentaraan ini. Diteguk habisnya sisa susu coklatnya kemudian bangkit dan berjalan keluar. Di ruang tamu, Ayah tengah duduk sambil membaca koran, di sampingnya ada Yola yang duduk dengan muka masamnya. Diki tersenyum miring melihat adiknya yang begitu sewot padanya.

"Diki berangkat, Yah," katanya menyalami tangan Ayah. Ayah melipat koran dan menyimpannya di atas meja, ia menyambut uluran tangan anaknya. "Lain kali jangan telat lagi. Kasihan adik kamu," pesan Ayah. Diki memutar mata malas melihat adiknya. "Iya ayah, telat dikit, kok," balasnya. Diki menunjuk pintu dengan dagu dan berjalan lebih dulu setelah mengucapkan salam pada Ibunya yang sedang di kamar. Yola mengekor di belakang.

"Makasi bang," kata Yola dengan senyum lebar setelah ia sampai di depan sekolahnya. "Iya, abang pergi dulu. Belajar yang bener," sahut Diki dengan perhatian khas seorang kakak kepada adiknya.

Ia melajukan motornya pelan, menikmati angin pagi yang sejuk menyentuh kulitnya. Diki memasang senyum manisnya, entah kenapa hatinya begitu ceria untuk memberi semua orang senyuman di jalan pagi ini. Walau sudah 15 menit berlalu dari bel masuk berbunyi, ia tetap melaju santai di jalan yang sudah mulai sepi. Tiba-tiba dari arah berlawanan, ada seorang perempuan berseragam sama dengannya tengah merentangkan kedua tangan ke tengahnya jalan yang membuatnya berhenti mendadak. Awalnya dia akan menghardik langsung orang aneh pagi ini, namun setelah menyelidiki lamat-lamat wajah cewek itu dia langsung membuang muka. "Mau apa lo?" tanyanya. Kenapa dia harus bertemu gadis ini lagi.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt