Bab 19

271 36 4
                                    

"Salahkan aku yang telah diracuni debar-debar ini, hingga aku tidak tahu warna bola matamu, meski kita sekarang berhadapan."

*

Tak ada yang berubah dari pandangan Riska pada langit malam yang masih berwarna gelap setiap malam. Badan langit tetaplah warna hitam gulita lalu ada bintang-bintang atau bulan. Itu membuat Riska tidak tertarik untuk berlama-lama duduk di dekat jendela karena pemandangan yang dilihatnya sekarang.

Riska menutup jendela kamarnya dan beringsut ke ranjangnya. Ia menarik selimut hingga lehernya. Matanya masih tertuju pada jendela yang tidak ia tutup gordennya. Dia melihat daun-daun pohon bergoyang ringan di dahannya. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya.

Kadang-kadang ia berpikir, bila saja ada peri bersayap-seperti Maripossa atau Elina peri yang mendapatkan sayapnya lewat sihir seorang ratu jahat-menari-nari di atas sana bersama peri lainnya. Lalu serbuk berkilau dari kepakan sayap mereka akan bertaburan di atas atap kamarnya. Tidak, tepatnya masuk ke dalam kamar Riska dan mengenainya lalu membuatnya menghilang dan pergi ke suatu tempat atau entah kemana, untuk bersembunyi dari dilemanya akhir-akhir ini, setidaknya untuk sementara saja.
Sudah larut malam, Riska mulai mengantuk setelah ia menghayalkan banyak hal tentang keajaiban dunia peri dan langit malam. Kamarnya yang hanya diterangi oleh sinar bulan lewat kaca jendelanya membawa hawa sunyi. Riska meremas ujung selimutnya kala ia merasa kulitnya kedinginan.

Tiba-tiba getaran ponselnya di atas nakas membuat Riska tersentak dan berguman mengumpat.

"Hallo? Apa, sih, gangguin gue tidur aja," sahut Riska langsung tanpa menyapa siapa yang menelponnya. Ia menguap beberapa kali. Ketika tak di dengarnya sahutan dari penelpon Riska menjauhkan ponselnya dan menghidupkan layarnya.

Nomor baru. Batinnya.

"Siapa?" tanya Riska hati-hati. Ia mencoba meredam suaranya agar tidak terlalu penasaran karena ia takut dengan telepon teror yang akhir-akhir sering menjadi bahan pembicaraan di sekolah. Katanya, mereka selalu menelpon lewat tengah malam. Dia menggigit bibie bawahnya menunggu jawaban dan matanya menjangkau setiap sudut kamarnya.

"Gue Diki. Lo kenal ngga?" ia menyahut sekaligus memberikan pertanyaan. "Nama lo siapa?"

Sontak Riska membulatkan matanya kaget dan segera menjauhkan ponsel tersebut lalu melepaskan baterai dan menaruhnya di atas nakas. Mendadak Riska merasa oksigen di kamarnya menipis dan dia butuh udara sekarang.

Dia membuang selimutnya sembarangan dan berlari keluar kamar menuju dapur. Ia membuka kulkas dengan tergesa-gesa dan mengambil botol mineral lalu menegaknya sampai habis.

Riska tidak tahu mengapa ia melakukan hal itu. Padahal ia tahu Diki yang menelpon, bukan telepon teror seperti yang ditakutkannya. Dia memegangi dadanya, jantungnya berdetak lebih cepat. Berkali-kali ia menarik napas dan menghembuskannya untuk menenangkan diri. Tangannya ia tahan di pintu kulkas untuk menyandarkan menahan tubuhnya.

"Kenapa, nak?" Tiba-tiba suara mama Riska terdengar membuat ia mengangkat kepalanya dan melihat wajah cemas mamanya. Mama memdekat dan memperhatikan keringat Riska yang membutir di kedua pelipisnya. "Kamu mimpi buruk lagi?"

Riska memaksakan seulas senyum dan menggeleng pelan. "Engga kok, Ma. Riska cuma tiba-tiba haus," katanya "Riska balik tidur lagi ya, Ma."

Mama mengangguk dan Riska kembali ke kamarnya.

Riska merasa dia bereaksi berlebihan tadi. Padahal itu hanya telepon dari Diki, laki-laki yang bahkan tidak memiliki tanda-tanda horor dari suaranya.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Där berättelser lever. Upptäck nu