Bab 9

447 53 5
                                    

Lagi-lagi gadis ini membuatnya pusing. Berbicara sesukanya, marah semau hatinya, membuat Diki kehilangan kata-kata untuk membela diri.

"Aku udah capek terus ngertiin kamu. Apa belum cukup me time yang kamu sebut-sebut itu, hah? Masih belum cukup bikin aku sakit hati kayak gini?" lantang suaranya memecah kesunyian jalan di bawah langit yang mulai gelap. Wajahnya lelah, ia seperti menahan tangis, agar tidak jatuh di depan cowok itu. Tesa, dia merasa lelah menghadapi cowok di depannya, perasaannya yang selalu berubah-ubah, antara marah dan memaafkan cowok itu. Diki, dia sekarang mulai mengacuhkan Tesa.

"Aku ngga ada maksud gitu kok, Tesa." Diki kalap membela dirinya. Tidak tahu memilih kalimat apa yang tepat agar gadis itu tidak merasa ia meninggalkannya. Diki tidak berniat menjauhinya.

"Terus apa? Apa lagi jawaban kamu? Bilang sekarang aku gimana di mata kamu, ngga ada artinya lagi?" Suaranya melirih menatap mata cowok itu. Ada kilatan kecewa yang ia pendam selama ini. Begitu sesak menahannya begitu lama.

Diki menggaruk kepalanya kebingungan. Dia menghela napas sejenak. Tidak mau mengambil langkah berbelit lagi menambah masalah mereka, Diki mengalah untuk mencari pembelaan. Akhir-akhir ini hubungannya buruk dengan Tesa. Gadis itu terus menuntutnya untuk sesuatu yang tidak ia mengerti, Tesa selalu meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Diambilnya tangan gadis itu dan menggenggamnya lembut, ditatapnya mata Tesa.

"Maafin aku, ya. Aku udah egois selama ini sama kamu," lirihnya. "Aku mohon, jangan ninggalin aku tanpa kata lagi. Jangan tiba-tiba pergi di saat kamu marah lagi. Gimana aku tahu kalau kamu ngga bilang," lanjutnya lembut. Sangat lembut hingga membuat Tesa tersentuh. Diki tahu dia salah mengabaikan Tesa selama ini, dia merasa bersalah tak bisa membuat gadis itu bicara padanya dengan terbuka.

Tesa menggeleng pelan. Ia sudah terlalu lama mengerti perubahan cowok itu selama ini. "Aku udah terlanjur kecewa," katanya. Diki terdiam, menatap kosong mata Tesa. Kata-kata Tesa barusan menyambar jantungnya, perasaannya. "Aku janji akan berubah," pinta Diki.

Tesa menggeleng kembali kemudian melepaskan tangan Diki. "Mungkin kita butuh break buat diri kita masing-masing," putus Tesa akhirnya. Ia menelan ludah dengan susah payah. Kata-kata itu akhirnya lolos dari mulutnya setelah dengan susah payah memikirkan cara mengatakannya. Setelah itu dia beranjak dari sana meninggalkan Diki yang diam tanpa kata.

Diki diam, tak ada kata-kata yang berhasil ia suarakan saat ini. Break? Haruskah? Pikirannya bercabang, mengingat bagaimana ia diam saat gadis itu marah dan ingin dikejar, Diki mengacuhkannya. Apa sekarang ia harus mengejar Tesa kembali?

Tiba-tiba hujan turun membahasi bumi mengenai jalanan tempat Diki berdiri di samping motornya. Ia tak merasakan apapun saat air sudah meresap di seragam sekolahnya. Dibiarkannnya rintik-rintik lembut itu menyentuh kulitnya yang terbuka. Perasaannya beku bersama hujan, tidak tahu mau melakukan apa.

Diki termangu sebentar ketika hujan berhenti turun di sekitarnya. Ada yang menghalangi turunnya hujan, sebuah payung, berwarna merah. Diangkatnya kepalanya untuk melihat siapa pemilik payung tersebut. Untuk beberapa detik dia terdiam menatap sosok di depannya yang sedang memayunginya dengan senyum yang hangat.

"Hai. Hujan ya," sapanya lalu mengedipkan kedua matanya. Dan tersenyum ceria.

Diki masih diam menatap sosok tersebut. Persekian detik kemudian dia tersenyum tipis.

"Tadi cewek lo, ya? Ciee marahan," ejeknya sambil tertawa. Diki tersenyum miring, apa ia sudah dilihat gadis itu sejak tadi. "Ngintipin gue lo?" tanyanya datar membuat gadis itu mengangkat alis remeh. "Enak aja, ngga sengaja tahu. Geer aja lo," ketus Riska. Mana mungkin ia menguntit cowok menyebalkan itu,kalau bukan karna kasihan ia tidak akan mau melupakan coklat panas dan selimut hangatnya sudah ia nikmati saat ini.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Where stories live. Discover now