Bab 22

313 33 3
                                    

"Kalian? Sama? Atau aku yang berlebihan terlalu terbawa suasana?"

*

Sore ini tidak secerah sore kemarin. Langit hari ini tidak se-oranye kemarin. Badan langit lebih gelap dipandangan mata Diki. Dia tidak dapat melihat sepercikpun ada semangat dari cahaya matahari yang redup di balik awan sore ini. Semuanya terasa hambar dalam beberapa detik. Tidak ada yang menarik.

Diki sedang berjalan pelan di trotoar. Dia memutuskan untuk tidak membawa motor karena kepalanya terlalu pusing untuk mengendalikan kendaraan roda dua itu. Dia sedang merasa bosan menatap langit kamarnya yang kaku tidak dapat dia ajak bicara. Mendadak semuanya terasa mati. Suasana di kamar Diki berubah menjadi kegelapan di musim gugur yang berangin di bawah langit gelap. Seakan-akan awan hitam memenuhi langit-langit kamar Diki lalu menurunkan tetesan hujan yang deras.

Diki berhenti sebentar lalu duduk di tepi trotoar. Dia tidak tahu mau kemana kakinya akan membawanya Keinginannya hanya menghindari kamarnya untuk beberapa jam saja. Mencari kesibukan lain yang sama sekali tidak berpengaruh untuk mengurangi perasaannya yang mendadak terasa berat bila dia tidak bergerak dalam satu detik.

Kepalanya pusing. Pandangannya berkunang-kunang. Dia tidak dapat melihat jelas aktivitas di sekitarnya. Tapi telinganya selalu tajam menangkap gerakan-gerakan yang ada sepanjang jalan tol ini. Bunyi gemerisik daun yang diterbangkan angin bersentuhan dengan aspal, bunyi tapak sepatu yang bersentuhan dengan trotoar, bunyi deru motor di ujung persimpangan jalan, dia bisa mendengar semuanya. Juga sebuah senandung kecil diseberang jalan.

Laki-laki yang mengenakan kaos polos berwarna putih dan celana jeans selutut itu memijit pelipisnya sebentar. Mencoba menetralisir kembali isi kepalanya yang kacau.

"Kamu mau ninggalin aku?"

"Aku ngga bisa terus-terusan kayak gini, Diki. Aku harus cari jalan lain buat mengobati trauma aku. Apalagi orang tua aku ngga tahu tentang ini. Aku ngga mau mereka tahu. Selama ini sulit buat nyembunyiin ini dari mereka. Untung aja mereka sibuk sama pekerjaan, kalau engga, mungkin masalah aku terbuka dalam sekejap."

"Tapi kita bisa cari jalan lain. Aku bakal bantu kamu buat nyembuhin trauma kamu, Tesa. Aku bakal jagain kamu dari Dwira. Dia ngga bakalan bisa nyentuh kamu."

"Ngga bisa, Diki. Satu-satunya cara yang bisa aku lakuin adalah menjauh dari dia."

"Aku bakal ngelakuin apapun."

"Kamu udah ngelakuin banyak hal buat aku. Termasuk membuat aku ketawa dan bisa ngelupain sejenak rasa sakit aku."

"Dan aku juga bakal ngelakuin itu terus sampai kamu benar-benar sembuh dari rasa sakit kamu."

"Aku ngga mau ngerepotin kamu Diki. Makasi, ya. Aku senang selama ini kamu ada buat aku. Aku bahagia."

"Tesa..."

"Karna kamu sepupunya. Aku mau ngajuin satu permintaan terakhir sama kamu."

"Apa? Bilang aja."

"Jagain cewek yang ada di dekat Dwira, ya. Aku ngga mau dia disakitin sama Dwira. Karena kamu sepupunya, aku yakin kamu dekat sama dia."

Dunia Diki berputar-putar. Dia harus berulang kali mencerna maksud kata-kata Tesa yang terakhir dia ucapkan. Cewek yang dekat sama Dwira? Siapa? Tidak mungkin Diki bertanya pada laki-laki brengsek yang telah membuat Tesa pergi darinya hanya untuk menjauhi bajingan seperti dia. Benar-benar manusia yang harus dilenyapkan dari bumi ini.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Where stories live. Discover now