Bab 20

294 31 1
                                    

"Jangan pernah menjanjikan aku apapun lagi. Aku sudah lelah."

*

Tidak ada yang mengatakan cinta itu salah. Tapi mengapa kau menghukumnya hanya karena kesalahanmu memilih orang untuk dicintai?

Sudah beberapa kali laki-laki bermata hazel di depannya membuat dia muak. Apa yang membuat laki-laki ini selalu terlihat tidak beres olehnya.

"Udahlah, Dy. Kamu janji-janji gini buat apa? Ngga ada gunanya," kata Riska bosan. Berkali-kali Waldy menarik tangannya untuk tetap di sana mendengarkan laki-laki itu bicara.

"Please, kamu tahu aku. Kamu tahu kalau aku masih sayang sama kamu. Sampai sekarang aku.."

"Ngga ada yang namanya sayang kayak gini," bantah Riska cepat.

Waldy diam. Lalu ditatapnya perempuan yang hampir sama tinggi dengannya ini, lekat ke dalam matanya, mencari jawaban. "Siapa yang mulai duluan permainan ini?"

Kata-kata itu membuat Riska bungkam. Dia menekuk kepalanya dan menatap sepatunya, seolah itu adalah pemandangan yang menarik saat ini. Dia tidak tahu harus marah, menyesal atau menyerah sekarang. Mungkin benar jika dia yang memulai permainan ini menjadi rumit. Namun apa salahnya, bahkan Riska tidak melakukan hal seketerlauan yang laki-laki itu lakukan padanya.

"Oke. Permainan ini kita akhiri." Riska berkata sambil menghela napas panjang.

Waldy tersenyum.

"Juga tentang kita."

Sekarang wajahnya berubah muram. Menyiratkan kecewa, marah atau entahlah. Waldy tidak dapat merasakan emosi apa yang menggelutinya kali ini. Tatapannya yang semula berarti kini hanya bisa memandang bingung sosok di depannya. Mungkin dia butuh beberapa menit lagi untuk mencerna maksud dari kata-kata Riska.

Atau tidak butuh detik sekalipun.

Riska tidak lagi berniat melanjutkan kata-katanya karena laki-laki itu hanya diam. Dipikirannya, laki-laki itu sudah mengerti.

"Ya udah," kata Riska kemudian. "Aku pergi dulu." Dia berbalik dan berlalu dari sana.

Sepersekian detik kemudian, Waldy sadar dari apa yang dilamunkannya. Membuat tubuhnya diberi perintah untuk menarik kembali tangan perempuan yang sudah beberapa langkah pergi dari hadapannya.

"Apa lagi?" Riska mengernyit kesal.

"Kamu ngga bisa seenaknya mutusin ini. Aku ngelakuin ini karna kamu yang mulai. Selama ini aku nunggu kamu.." protes Waldy merasa tidak terima dengan keputusan sepihak yang dibuatnya. Bukankah mereka dulu sama-sama sepakat untuk mengakhiri permainan ini pada waktu yang tepat dan kembali pada janji awal mereka, bersatu.

"Kamu nunggu aku, atau aku yang nunggu kamu?" tanya Riska. Dia memberanikan diri menantang mata hazel itu meskipun dia tahu jantungnya sudah terlalu jauh mengambil resiko di dekat laki-laki ini.

"Aku yang salah mulai permainan ini. Tapi kamu yang salah dalam cara bermain kamu, Waldy! Ngga usah tanya tentang perasaan lagi. Aku udah ngga punya hati buat kamu. Ngga ada!" ucap Riska penuh penekanan. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Sekuat mungkin ia menahan agar butiran-butiran lemah itu tidak lolos dari sana.

"Kalian pelukan di depan aku. Itu yang kamu bilang nungguin aku? Gitu cara kamu buktiin kamu nungguin aku, Waldy," isaknya pilu. "Bilang kalau kamu ngga pernah sayang sama aku.. aku ngga bakal sakit kayak gini.." Dia memukul-mukul dada laki-laki itu dengan tenaganya yang tidak seberapa dibanding sesak yang sudah ia tahan sedari tadi.

Mendengar itu membuat hati Waldy mencelos. Dia melupakan kejadian itu, ketika Nia tidak sengaja terpeleset di jalan basah karena hujan hari itu dan jatuh ke pelukannya. Insiden itu berlangsung selama satu menit sampai akhirnya matanya menangkap ada sesosok berseragam yang melihat mereka berdua. Ia ingin melepaskan pelukan itu, namun Nia menahannya. Dan Waldy dapat melihat punggung Riska yang berlari menjauh dari mereka.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Where stories live. Discover now