Bab 3

909 89 48
                                    

Pagi ini mendung. Awan gelap enggan berbagi dengan matahari. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Riska bergegas keluar dari kamarnya dan berlari menuju teras rumah. Sepatunya sudah ia kenakan. Dia siap pergi ke sekolah dengan sweeter putih polosnya.

"Ma, Pa. Aku berangkat, ya." Riska mencium punggung tangan kedua orang tuanya.

Papa melipat korannya dan menerima uluran tangan sopan dari anaknya. "Iya, belajar yang rajin," pesan Papa.

"Ceilah, Papa kayak ngga tahu anaknya yang paling rajin aja," seloroh Riska diikuti ceringainya, kemudian beralih mencium tangan Mama.

"Yang ada rajin lihat hape tiap malam, terus bikin status di facebook." Mama menyahut acuh sambil menggendong anak bungsunya berumur 4 tahun.

Wajah Riska langsung berubah masam, kenapa Mama malah membongkar rahasianya di depan Papa.

"Cepat berangkat, nanti kamu terlambat," kata Papa menengahi.

Eh? Riska menatap Papa sejenak, tumben Papa ngga ngomel.

"Iya, Pa," balas Riska tersenyum penuh kemenangan.

Dia mengusap pelan kepala Adiknya. "Pigi dulu, ye," katanya pada Adik kecilnya dengan logat melayu menirukan film kartun Upin dan Ipin kesukaan si kecil itu.

"Jumpe lagi," balas si Adik melambaikan tangannya pada Riska yang juga melakukan hal yang sama.

Tidak buruk. Setidaknya masih 5 menit lagi bel akan berbunyi. Apa itu yang dinamakan cepat?

Jalanan pagi ini tidak seru untuk Riska. Sudah banyak orang yang berlalu lalang. Para kaum adam menongkrong di warung yang berjarak 500 meter dari sekolah. Sebagian dari mereka hanya mengobrol pasal pertandingan bola antar sekolah yang sudah mereka menangkan di lapangan hijau kemarin. Beberapa diantaranya memilih duduk di samping warung Ibu Iis sambil menghisap dan mengepulkan asap rokok, sementara yang di dalam sudah menikmati separuh sarapan pagi mereka.

Riska risih berjalan di antara mereka. Walau tidak ada yang memperhatikannya, tetap saja ia merasa tak nyaman karena Riska suka sesuatu yang bersifat tenang dan sepi.

"Riska!" seru seseorang dari belakang Riska. Itu sahabatnya, Vynna. Ia menghentikan langkahnya dan menoleh. Riska menungguVynna berlari kecil mendekatinya.

"Huh! Gue telat, nih," erangnya ketika sudah di samping Riska. Mereka berjalan beriringan.

"Engga, kok. Lo ngga telat. Lagian bel juga belum bunyi," ucap Riska santai.

"Belum bunyi apanya? Udah dari tadi!" Vynna mendengus kesal. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan Riska. Bisa-bisanya ia berjalan dengan muka santai di saat sudah lewat jam belajar begini.

"Itu jam tangan dipakai buat lihat waktu, bukan buat dandan," lanjutnya sebal kemudian mempercepat langkah mendahului Riska.

Riska melirik jam tangannya sekilas 7.15, sudah 15 menit berlalu. Ia terbahak, kemudian mengikuti langkah Vina menuju gerbang sekolah.

*

"Hallo, my friends yang super duper pemalas bikin tugas sekolah di pagi yang cerah ini," sapa Riska ceria merentangkan tangannya memasuki kelas sambil menghirup udara kelas yang masih segar dan duduk di samping Rani.

"Hay juga Miss. Telat super duper molor di pagi hari. Selamat datang," balas mereka serempak tanpa ekspresi dan kembali berkutat dengan tugas mereka.

Riska berdecak kesal di bangkunya. Melihat teman-temannya yang bekerja sama mencontek tugas hanya dari satu buku pinjaman, ia mendapatkan ide bagus.

Riska mengeluarkan buku tugasnya. "Lihatlah buku tugas gue yang cantik ini berterbangan tanpa sayap. Cittt..ciitt.." Riska melayang-layangkan bukunya di depan teman-temannya yang duduk berhadapan.

Fadila menyambar bukunya dengan tatapan tajam. "Dari tadi, kek!" Ia membuka halaman terakhir yang berjudul latihan 4. Kya dan Rani masih menyalin tugas yang tersisa.

"Tanpa terimakasih?" Riska mengangkat bahu tak percaya tawaran dari malaikat penyelamat tugas seperti dia tidak digubris sepatah katapun.

"Terserah." dia mengibaskan tangannya, memasang wajah seorang dermawan tanpa pamrih, lalu meraih handphone dari saku bajunya untuk menghilangkan bosan.

Ia menggulir layar ponselnya ke bawah dan ke atas secara acak, tak menangkap betul semua pemberitahuan dari status-status teman facebooknya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, kedua jempolnya bergerak mengetikkan sesuatu di keyboard handphonenya.

Tiba-tiba jarinya berhenti menggerak-gerakkan layar ponsel ke atas dan ke bawah, matanya terpaku pada satu nama yang baru saja memperbatuhi statusnya di timeline. Untuk beberapa detik, mata Riska belum membeku pada layar ponselnya. Detik berikutnya ia menelan ludah dengan susah payah.

Rani menyikut lengan Riska, gadis itu menoleh dan melihat Rani mengarahkan dagunya menunjuk ke depan. Riska mengikuti gerakkan itu dan melihat Bu Nunung sedang berkacak pinggang melihat ke arahnya. "Apa perlu Ibu ambil hp kamu Riska?"

Riska terkesiap, kemudian dia berdeham kecil dan segeram menyimpan benda persegi panjang itu ke dalam saku roknya. "E-engga, Bu," katanya tergagap.

"Kamu sudah bikin tugas?" tanya Bu Nunung mendekati meja Riska, dan gadis itu menanggapi dengan cekatan sambil menunjuk buku tugasnya. "Sudah kok, Bu." Dia memasang senyum lebar dan memberikan buku bersampul warna biru itu ke tangan Bu Nunung.

Guru Biologi yang terkenal dengan bross hijabnya selalu sama sejak pertama mereka belajar mata pelajaran tersebut di kelas 1 SMA itu menerima buku Riska dan membacanya sebentar dan menutupnya kembali dengan kepala yang diangguk-anggukan.

Bu Nunung mengedarkan pandangan ke seluruh siswa di kelas, dengan buku tugas Riska masih di tangannya ia maju ke depan kelas lalu berkata, "Kumpulan latihan minggu lalu."

Terdengar bisik-bisik kecemasan saat Bu Nunung melihat buku Riska, mereka sadar akan tertimpa duren busuk yang menyebalkan.

"Kalau minggu besok dikumpulnya gimana, Bu? Buku saja tinggal di rumah, Bu," pinta Mifta berdiri dari duduknya. Sementara yang laim sudah satu persatu mengumpulkan ke meja guru.

"Iya, Bu. Kita pikir tugas itu buat minggu besok, Bu," timpal teman di depannya, mereka satu geng dua baris tempat duduk paling sudut kanan di dekat pintu keluar.

"Boleh," sahut Bu Nunung merapikan bahan ajarnya tanpa melihat. "Nilainya nol," lanjutnya lagi. Ia selesai dan mengambil tumpukan rapi buku latihan Biologi kelas XI IPA 3 yang berwarna warni.

"Minggu depan kita ulangan," katanya pada seluruh murid dan berlalu keluar kelas tanpa bicara lagi.

Segera setelah Bu Nunung keluar, keluhan dan luapan kekesalan keluar dari bibir mereka. Mereka memilih keluar dengan cepat menenangkan kepala dan perut mereka ke kantin, tempat yang dicintai semua murid di sekolahan.

"Cabut," kata Rani langsung berdiri diikuti Kya dan Fadila di belakangnya. "Ka?" panggil Rani melihat Riska diam menantap kosong ke papan tulis.

"Eh?" Gadis itu tersentak kemudian ikut berdiri dan mereka berempat beriringan keluar kelas menuju kantin. Riska tak banyal bicara menanggapi perkataan teman-temannya. Ia memenuhi mulutnya dengan makanan agar punya alasan untuk tidak ikut membalas candaan teman-temannya.

"Banyak alasan kita memiliki sebuah raga atas nama cinta. Beribu alasan juga kita harus melepasnya atas nama cinta yang sama." _Waldy

♥~♥

Happy reading, be good readers. Thank you^^

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Where stories live. Discover now