My Beautiful Girl : 23

10.1K 373 11
                                    

Vote, please...


.



Alessa berbalik spontan saat mendengar suara ketukan pada pintu kamarnya.

Suara ayahnya terdengar dibalik pintu. "Boleh ayah masuk, Alessa?" Tanyanya, lembut.

Langkahnya terasa berat saat ia mendekati pintu, Alessa memejamkan mata sesaat dengan menarik napas dalam mengusir rasa gugupnya. Telah begitu lama mereka tidak saling berbicara, saling berselisih dan rasanya aneh untuk kembali berbicara, di saat mereka sebenarnya adalah keluarga.

Sosok yang begitu dikenalnya, menyambutnya dalam tatapan ayahnya, Alessa melihat campuran antara kegembiraan dan kelelahan. "Ayah," panggilnya pelan, suaranya hampir tercekat oleh emosi yang memenuhi dadanya.

Ayahnya menatapnya dengan penuh kasih sayang, lalu tersenyum lembut. "Alessa, betapa aku merindukanmu," ucap ayahnya dengan suara hangat.

Mereka berpelukan erat untuk kedua kalinya, seolah ingin menyalurkan semua rindu yang telah terpendam selama ini.

"Ayah mohon untuk jangan pergi lagi." Gumamnya, dengan merenggangkan pelukan mereka dan menatap Alessa memohon.

Alessa mengangguk kecil.

Tangan ayahnya terangkat, menyentuh lembut pelipis Alessa, merapihkan rambutnya"Kata mama, kamu ingin menunjukkan sesuatu?"

Alessa mengangguk, berjalan mundur menuju tas slempang miliknya.

***

Suasana siang itu begitu tenang. Angin sepoi-sepoi meniup perlahan, mengusir rasa panas yang menyengat. Alessa memandang hamparan perkebunan teh yang luas, dengan deretan tanaman teh yang rapi dan hijau dari kejauhan.

Alessa duduk di teras rumah, menikmati secangkir teh hangat yang tersaji, teh buatan ibunya. Aroma segar dari teh itu tercampur dengan bau tanah yang khas dari kebun teh. Menyeruputnya perlahan, sambil menikmati pemandangan yang indah di depannya. Beberapa burung terbang di atas kebun, menambah suasana yang damai dan tenang.

Sedangkan, Dave memandangi gerak-gerik gadis itu yang terlihat mulai terbiasa dengan rumahnya di daun pintu balkon.

"Dave tidak bergabung?" Tanya Danella, yang muncul dari belakang saat melewatinya.

Alessa berbalik, melempar senyum kecil kepada pria itu. Sebelum, beralih menatap sang ibu. "Ma, Alessa dan Dave akan kembali ke kota." Katanya.

Danella tersenyum kecil dengan mengangguk. "Iya tau, mangkanya mama nyiapin bingkisan buat dibawa."

"Enggak, perlu mah." Tolak halus Alessa.

Danella bergeming, ia masih terus menyiapkan dua bingkisan teh yang dirinya buat sendiri.

Alessa menghela napas, ia lalu menatap Dave yang mengangkat bahunya.

Angin sepoi-sepoi bertiup lembut di wajah Alessa, ketika dia memasuki mobil yang akan membawanya kembali ke kota.

Ibunya berpesan sebanyak seratus kali padanya untuk kembali, yang hanya diangguki singkat olehnya. Sedangkan, ayahnya hanya terdiam memandanginya. Di dalam mobil, Alessa memandangi jalan yang kemarin malam dilaluinya, pohon-pohon pinus yang berderet di tepi jalan dan hamparan pohon teh sebagai penghias. Dia memejamkan mata sejenak, menghirup udara segar, dan membiarkan dirinya terbawa oleh perasaan damai yang mengalir dalam dirinya.

Malam kemarin Alessa telah memikirkan semua kejadian yang telah terjadi dan berlalu, dia memilih untuk merelakan apa yang selama ini membuatnya kecewa dan sedih.

Apa yang dikatakan Dave, benar. Mereka tak akan pernah bisa menang dari takdir yang telah tertulis. Cinta mereka memang tidak di takdirkan untuk bersama, maybe in another universe, we are together. Ia selalu menenangkan diringa dengan kalimatan diatas.

My Beautiful GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang