"Saat akan pergi ke sekolah, mendengar bunyi mobil atau motor lewat saja membuat dia ketakutan. Tidak jarang juga Riska berteriak dan menangis di tengah jalan. Makanya Tante minta izin ke sekolahnya sampai Riska lebih membaik baru masuk lagi. Dan Tante sangat senang melihat perubahan besar saat Riska udah di SMA. Apalagi ketika dia naik kelas 2 SMA dan ketemu Rani, Kya, dan Fadila. Dia nampak lebih ceria di sekolah dan di rumah. Riska kembali menjadi Riska yang dulu."

Diki tidak yakin apakah dia menangkap semua yang dikatakan oleh wanita di depannya ini. Yang terlintas di pikirannya adalah wajah Riska dengan mata tertutup. Di sana Diki melihat bagaimana tenang dan damainya Riska dalam tidur. Namun di situ pula Diki menemukan sisi kelam Riska. Setelah selama ini Diki terkecoh dengan tatapan mata Riska yang kadang nampak menyimpan sesuatu. Namun keahlian Riska dapat tertawa setiap satu menit membuat Diki lupa bagaimana caranya menatap ke dalam mata Riska.

"Pernah sekali Tante lihat Riska pulang sekolah sore sekali. Dia buru-buru masuk kamar dan menganti seragamnya. Karena penasaran, Tante lihat ke kamarnya. Tapi Riska udah keluar dan seragamnya dia masukkan ke dalam tong sampah. Ada bercak darah di bagian depan seragamnya."

"Ada apa, Tante?" tanya Diki penasaran.

Mama Riska menggeleng. "Tante tahu dia baru saja mencuci tangannya yang kena darah. Pas Tante nanya, dia cuma bilang abis praktek bedah di labor dan prakteknya gagal. Tapi beberapa hari kemudian Tante tanya sama Rani, mereka ngga ada praktek sama sekali menjelang akhir semester ini."

Jantung Diki berdetak lebih cepat. Dia menelan ludah dengan susah payah. Diki berharap apa yang akan dia dengar tidak akan membuatnya menyesal semumur hidup.

"Setelah Tante paksa nanya, dia bilang habis menolong temannya yang kecelakaan. Tante cuma cemas sama Trauma Psikologisnya. Karena sehari setelah itu dia mimpi buruk lagi."

Diki menahan napas hingga membuat dadanya sesak. "Itu kapan ya, Tante?" tanya Diki lirih. Dia masih berdoa di dalam hati bahwa yang akan dia dengar adalah hal yang tidak ingin Diki ketahui.

"Tante ngga ingat. Tapi setahu Tante itu pas mau ujian kenaikan kelas kemaren."

Bahu Diki terkulai lemas. "Riska bilang di mana kejadiannya?"

Mama Riska mengangguk. "Di dekat persimpangan masuk komplek perumahan ini. Riska bilang dia juga ikut mengantarkan temannya itu ke rumah sakit. Tapi dia baik-baik saja waktu itu. Mungkin karena sudah lama Riska tidak bermimpi atau melihat hal yang sama selama 2 tahun ini."

Selesai sudah. Diki menatap sayu tikar yang ia duduki bersama Mama Riska di ruang keluarga. Rumah ini memang sunyi. Tidak ada bunyi televisi, bahkan Adik kecil Riska juga sedang tertidur pulas di samping Mamanya. Namun suasananya lebih dingin bagi Diki. Seolah tidak ada kehidupan di rumah bercat putih polos di dalamnya ini.

Tiba-tiba si kecil Naufal menggaduh, rupanya dia sudah terbangun dari tidurnya.

"Tante ke kamar sebentar, ya Diki," kata Mama Riska sambil menggendong anaknya.

Diki menganggukkan kepala dan melempar seulas senyum yang dipaksakan. Namun dia berusaha menunjukkan wajah ramah kepada wanita itu.

Diki menyandarkan punggungnya ke dinding di samping kamar Riska. Dia meremas rambutnya ke belakang selama beberapa detik, lalu mengusap wajahnya gusar. Diki memejamkan matanya erat, helaan napas terdengar lelah keluar dari mulutnya.

Sejenak kemudian dia membuka mata dan berusaha menjernihkan pikirannya. Diki bangkit berjalan beberapa langkah menuju pintu kamar Riska. Tangannya menggenggam gagang pintu terlalu lama. Diki hanya ingin mengintip sedikit agar dia dapat melihat Riska dari jarak sejauh ini. Hanya ingin memastikan Riska tidak bermimpi buruk kali ini. Diki hanya ingin memastikan kalau Riska sedang tidur dengan tenang dalam damai.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Where stories live. Discover now