Part 39 : Never Felt Like This

17.4K 1.3K 94
                                    

Terjawab sudah apa yang membuatnya tidak karuan selama di perjalanan. Bukan karena laki-laki itu yang gugup dalam menyatakan perasaannya, tetapi sesuatu yang terjadi sebelum ia sempat menyatakan perasaannya. Pikirannya berubah menjadi kalut, begitupun dengan rasa sakit hati dan kecewa yang paling mendominasi. Ingin sekali mengeluarkan air mata untuk meluapkan seluruh emosi dalam dirinya, namun ia tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti itu. Air matanya dirasa terlalu berharga untuk menangisi seorang gadis yang telah menghiraukan perjuangannya.

Sekarang ia mengerti bagaimana rasanya telah berjuang, tetapi di sia-siakan.

Laki-laki itu memutar balik mobilnya, melajukan kendaraan beroda empat tersebut menuju rumahnya. Sebenarnya, ia malas pulang ke rumahnya karena semua teman-temannya pasti akan melontarkan banyak pertanyaan mengingat Adella tidak datang bersamanya. Namun, ia pun tidak mungkin ke sebuah diskotik di saat waktu baru saja menunjukkan pukul setengah enam sore.

Naufal menyalakan radionya untuk menghilangkan keheningan yang melanda di dalam mobil. Kebetulan lagu yang sedang diputar oleh radio tersebut merupakan salah satu lagu favoritnya yaitu, Menuju Senja karya Payung Teduh; band alternatif Indonesia beraliran fusi antara Folk, Keroncong dan Jazz atau yang biasa disebut Musik Indie. Lagu Menuju Senja sangat tepat diputar beriringan dengan suasana kota Bandung yang memang akan memasuki senja.

Dua puluh menit kemudian, mobil berwarna abu-abu itu telah berada di pekarangan rumahnya. Di saat Naufal sedang berjalan ke arah pintu, ia tak sengaja melihat mobil milik kedua orang tuanya yang diletakkan berdampingan dengan mobil milik Ryan. Lalu, ia kembali melanjutkan langkahnya yang sudah hampir dekat dengan pintu rumah.

Begitu ia membuka pintu, suasana rumah hening dan gelap karena hanya diterangi oleh lampu-lampu kecil dan lilin sesuai dengan rencananya. Lagi-lagi, Naufal hanya tersenyum kecut menyadari bahwa semua rencananya gagal hanya karena gadis itu yang lebih memilih untuk pergi dengan orang lain.

Kini Naufal sedang merebahkan tubuhnya di salah satu sofa yang berada di ruang tamu. Kejadian beberapa menit lalu bagaikan kaset rusak yang diputar secara terus menerus dalam otaknya. Tiba-tiba seluruh lampu kembali menyala, beberapa orang yang diyakini teman dan orang tuanya datang menghampiri.

"Naufal, mana Adelnya? Kok malah tiduran di sini? Katanya mau nembak," ucap Sarah sembari berdiri di hadapan anak laki-laki yang sedang merebahkan tubuhnya itu.

Nino selaku ayah dari anak laki-laki itu pun ikut menimpali, "Iya Fal, mana Adelnya?"

Alih-alih membalas ucapan kedua orang tuanya, Naufal terbangun dari posisi tidurnya dan langsung berhampur ke dalam pelukan Mamanya. Hal itu tentu membuat semua orang yang berada di ruang tamu benar-benar terkejut. Terkejut dengan perlakuan Naufal pada seorang wanita yang berstatus sebagai Mamanya itu.

"Kamu kenapa, Fal?" Sarah memang tidak tahu dengan jelas apa yang sedang dialami oleh anak laki-lakinya itu. Namun sebagai seorang Ibu, ia dapat merasakan bahwa anaknya sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Dalam pundak Sarah, ia menggeleng pelan. "Gak apa-apa, Naufal cuma kangen sama Mama."

"Kangen sama Mama atau ada masalah sama Adel?"

Naufal melepaskan pelukan tersebut, kembali duduk di tempatnya semula. Ia menundukkan kepalanya, menjadikan sepatu yang sedang dikenakannya sebagai objek pandang. Kedua tangannya dibiarkan mengacak-acak rambut hitamnya menjadi sedikit lebih berantakan.

Nino duduk di samping anaknya yang telah beranjak dewasa itu sambil mengusap-usap punggungnya. "Kita kan sama-sama cowo, kalo ada masalah sama cewe cerita sama Papa. Mungkin aja Papa bisa bantu."

Naufal menghembuskan napasnya dengan kasar, lalu ia menoleh ke arah Papanya itu. "Callista batalin pergi sama Naufal dan milih buat pergi sama cowo lain, Pa."

Best PartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang