Laki-laki itu menautkan kedua alisnya berpikir, lalu dia melirik jam tangannya. "Kayaknya gue mau pulang cepet, deh. Kapan-kapan aja, ya," tolaknya halus.

Riska memasang wajah cemberut. "Yah.." Dia menghentakkan kakinya sekali ke lantai sebagai bentuk kekesalannya.

Itu membuat Diki terkekeh melihat ekspresi lucu di depannya. Diperhatikannya wajah Riska sebentar. Wajahnya oriental, alis tebal, hidungnya mancung, matanya yang tidak kecil tidak juga bulat besar tapi itu cocok dengan wajahnya, dan bibir ranumnya sedang mengerucut karena cemberut. Itu terlihat lucu untuknya. Lalu Diki tersenyum setelahnya.

"Lo mau ikut gue ngga?" tanya Diki membuat penawaran baru.

Riska melirik sedikit laki-laki di depannya tidak tertarik, namun juga dia bertanya, "Kemana?"

"Ikut joging sama gue," kata Diki.

"Lo ngga lihat gue pakai rok? Gue malas ganti baju," jawab Riska.

"Yaudah lo ngga usah lari. Kita jalan aja," ajak Diki lagi.

Riska menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian tersenyum miring menatap Diki yang menganggukkan kepala seolah mengerti dia memberikan sebuah pertanyaan, 'yakin?'.

Perempuan itu menghela napas panjang, lalu mengetuk dagu dengan telunjuk, berpikir-pikir sebentar.

"Mau ngga, nih?" tanya Diki meminta persetujuan. "Sampai gerbang depan aja," tambahnya.

"Boleh, deh," kata Riska akhirnya. "Tapi tunggu bentar, ya." Riska segera masuk dan berlari menuju pintu rumahnya tanpa menunggu persetujuan Diki.

Laki-laki itu mengangguk dan tersenyum mengiyakan. Diperhatikannya punggung Riska yang kemudian menghilang di balik pintu. Sudut bibirnya terangkat. Dia jadi berpikir ulang lagi, kenapa dia mengajak gadis itu pergi bersamanya. Tiba-tiba saja terpikirkan olehnya mengajak seseorang untuk teman mengobrol saat joging. Karena sebelumnya Diki biasa pergi sendiri termasuk juga saat dia lari maraton. Dia akan lebih ringan jika berlari sendiri dan berhenti sesuka hati.

Melihat gadis itu menawarinya bertamu sebentar ke rumahnya, membuat Diki tidak enak hati untuk menolaknya begitu saja. Jadi, sebagai permohonan maaf dia mengajak perempuan itu untuk ikut bersamanya. Mungkin nanti dia akan membelikan perempuan itu satu batang ice cream atau mereka akan mengunjungi tempat yang menarik untuk mengobrol sebentar.

Mengingat perempuan itu pernah membantunya saat dia hampir sekarat di jalan waktu itu, berlebihan memang. Tapi jika tidak ada Riska saat itu, mungkin dia tidak akan pulang dengan keadaan baik-baik saja. Dia melihat bagaimana perempuan itu mengotongnya sambil berceramah panjang lebar karena dia kesusahan membawanya duduk di dekat halte, lalu mencarikan obat untuknya dan sebotol air mineral, membuat Diki jadi ingin melakukan susuatu sebagai ucapan terimakasih. Oh, ya. Jangan lupa. Dia juga membelikan Diki makanan waktu itu.

"Diki.." panggilan itu membuat Diki menoleh melihat Riska yang melambai di depan rumah, lalu berlari ke arahnya.

"Udah?" tanya Diki sambil tersenyum kecil ketika Riska sudah sampai di depannya.

Riska mengangguk. "Lama, ya?"

Mereka mulai berjalan dari sana meninggalkan rumah Riska. Seperti kata Diki, mereka hanya berjalan santai.

"Iya," sahut Diki asal. "Lo ngapain, sih? Mandi kembang?" protesnya pura-pura kesal.

Riska berdecak. Dia melirik Diki dengan malas. "Iya gue kan pamit dulu sama Emak gue. Lo ngga sabaran aja," sahutnya setengah hati.

Diki hanya merespon dengan mengedikkan bahunya saja.

Sebenarnya berpamitan tidaklah memakan waktu lama. Bahkan bisa dilakukan kurang dari satu menit. Hanya saja, Riska malah berdiam di kamarnya melihat keluar jendela. Memperhatikan Diki yang berdiri sendiri di depan rumahnya. Kenapa dia malah mengiyakan ajakan laki-laki itu. Riska merasa aneh saat berbicara dengan laki-laki itu dia bisa mengucapkan setiap kata-kata dengan ringan. Apalagi mencandai Diki dengan air cuci piring tadi. Sebenarnya Riska malu. Sedetik setelah dia mengucapkan kata itu dia langsung menyadarinya dan hanya mengirinya dengan tawa agar tidak terlalu memalukan di depan Diki.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang