Sementara Diki sibuk dengan pikirannya sendiri, dia merasa kepalanya kembali berdenyut seperti terbentur benda keras. Dia tidak bisa tidur selama dua hari ini. Yang dilakukannya hanya memandang keluar jendela dengan mantel tebal dan perasaan berat yang membebaninya. Seakan di pundaknya ada beban ratusan kilo yang membuat tidak bisa beranjak satu sentipun dari tempat duduknya.

Diki beranjak dari tepi trotoar dan mencoba berjalan menembus cahaya yang masih terasa dingin di kulitnya itu. Hati, pikiran, dan detik saat ini tidak ada yang sejalan dengannya. Itu membuatnya berjalan tanpa tujuan sekarang. Ketika ia merasa tubuhnya kehilangan keseimbangan, Diki menabrak seseorang. Dari mana asalnya? Di depan, belakang? Sementara itu tubuh Diki sudah terjatuh, dia bisa merasakan lututnya bersentuhan dengan trotoar. Kenapa tiba-tiba dia menjadi seperti orang sakit selama satu bulan? Ini memalukan, di depan orang banyak seperti ini? Di jalan lagi.

"Eh? Kenapa, nih?" tanya orang yang dia tabrak tadi. Diki yakin tubuhnya sedang menindih orang itu. Namun dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali. Otot-ototnya mendadak kaku dan tidak berfungsi dengan baik. Tubuhnya terasa didorong-dorong dan dipaksa menjauh. Diki yakin ini sangat memalukan.

"Diki kenapa?" tanya suara itu panik. "Oi, bangun. Diki lo kenapa, sih? Berat, nih," rintihnya terus mendorong punggung Diki agar bisa duduk dan laki-laki segera sadar dan membuka matanya.

Mendadak dunia Diki berhenti berputar. Pandangannya sama gelapnya dengan pikirannya. Seperti deja vu, Diki membeku.

Diki kenapa?

Diki mengangkat kepala dan menoleh ke empu suara. Kepalanya kembali berdenyut hebat ketika dia memaksa membuaka kedua matanya. Kedua alisnya bertaut dan tatapan mata yang ia sendiri sulit menjelaskan saat melihat wajah perempuan di depannya.

Dia benar-benar tidak beres lagi sekarang.

*

"Lain kali, kalau lo lagi sakit jangan jalan sendirian. Gatel kayak ulat bulu," celoteh Riska ketika ia membukakan botol air mineral yang baru ia beli untuk laki-laki di sampingnya lalu memberikannya pada Diki.

Diki tertegun menatap botol air mineral yang diberikan Riska di depannya. Dia tidak memberikan reaksi apapun selain tatapan kosong yang membuat ia melamun. Melamunkan banyak hal, tidak banyak. Hanya perempuan aneh di depannya saja.

Riska menghela napas kasar. "Ngga gue kasih racun. Lo kan lihat gue buka di depan lo masih ada segelnya," katanya menarik tangan kanan Diki dan meletakkan botol mineral itu di tangannya agar ia meminumnya.

Diki menalan ludah. Dia menerimanya tanpa bicara. Lalu Riska menyodorkan satu bungkus kecil obat di tangannya. Melihat Diki kembali diam Riska menarik tangannya.

"Minum, nih. Untuk sementara." Perempuan itu mensobek sedikit ujung bungkus obat itu dan mengeluarkan isinya. "Sebenarnya ini bisa diminum sebelum atau sesudah makan. Tapi lebih cepat reaksinya lagi kalau habis makan. Tapi lo bisa makan ini dulu, kok. Habis itu baru isi perut lo." Dia juga menarik tangan Diki yang bebas tergeletak di atas paha laki-laki itu dan menaruh tablet berwarna putih bulat datar itu. Diki tidak suka obat.

"Heh! Cepet diminum obatnya. Lo ngga mau kan nyusahin gue ngangkat badan berat lo itu." Riska mendorong bahu Diki membuat laki-laki itu tersentak dan menoleh ke arah Riska.

Riska mengusap kasar wajahnya dengan sebelah tangan. Bosan dengan reaksi menyebalkan yang diberikan oleh Diki sejak tadi dia membawa laki-laki itu duduk di halte terdekat. Yang benar saja, tidak mungkin dia membawa Diki ke rumahnya walau laki-laki itu sekarat sekalipun.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang