Suara itu terdengar tidak asing, mungkin pernah hinggap di telinganya beberapa kali. Diangkatnya tangan kirinya dan menatap sejenak telapak tangannya. Ia masih merasakan tangan kecil dan halus itu mengenggam tangannya. Ia menghela napas kasar, mencoba mengusir perasaan gusarnya.

Kemudian dia meringkuk ke samping. Tiba-tiba bayangan wajah Tesa muncul di kepalanya dengan berbagai rupanya. Bentuk wajahnya yang oval dan hidungnya yang mancung menambah kesan manis perempuan itu. Diki tersenyum, ia teringat bagaimana rupa perempuan berumur satu tahun di bawahnya itu jika ia menganti gaya rambutnya ke sekolah. Tesa dengan rambut panjangnya yang tergerai atau ia ikat sebagian ke belakang. Walau perempuan itu lebih suka rambutnya yang tergerai, kadang-kadang ia juga pernah mengucir kuda rambutnya dan membiarkan sedikit rambut-rambut kecilnya keluar dari pelipis kiri dan kanannya. Juga bagaimana cara gadis itu tersenyum dan berubah manja padanya, sama seperti saat mereka berdua sore itu.

Kala itu, Diki sedang melaju santai dengan motornya di jalan yang tidak terlalu ramai seperti biasanya. Ada beberapa pejalan kaki berseragam sepertinya, juga orang-orang yang tinggal di sekitar sana, mungkin mereka tengah menikmati sinar matahari sore yang hangat bersama anak-anak mereka.

Tiba-tiba Diki merasakan pahanya geli karena ponselnya bergetar bekali-kali menandakan ada panggilan masuk. Diki sengaja mengganti mode getar ponselnya jika ia sedang di lingkungan sekolah. Karena bagaimanapun juga sekolah melarang siswa-siswinya membawa alat komunikasi tersebut karena dapat mengganggu proses belajar. Meskipun begitu, tetap saja masih ada-hampir seluruh siswa-siswi- membawa benda persegi tersebut. Mereka merasa itu tidak bisa dipisahkan dari diri mereka.

Laki-laki itu meronggoh saku celananya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang stang motornya sebagai kendali. Senyumnya mengembang sempurna kemudian ia menggeser icon berwarna hijau ke kanan dan meletakkan benda tersebut di telinga kirinya. "Aku masih di jalan, sayang. Cepat banget kangennya," kekeh Diki langsung tanpa menyapa si pemilik nomor terlebih dahulu. Tesa yang mendengar itu memasang wajah cemberut. Ia yakin pasti Diki sekarang sedang menertawainya karena menelpon terlalu cepat. Bahkan Diki baru saja mengantarnya pulang sepuluh menit yang lalu dan dia belum berganti pakaian. Tapi kemudian dia tersipu membenarkan perkataan Diki di dalam hati. Sadar bahwa Diki sedang menunggunya bicara, ia menjawab, "Ya, udah. Hati-hati, ya." Lalu dia mematikan telepon setelah Diki menyahutinya. Tesa menghempaskan tubuhnya di ranjang. Dia tersenyum malu mengingat bagaimana kecan mereka hari ini di taman kota, berdua, dengan Diki.

Setelah itu, Diki menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana abu-abunya. Ia menepuk-nepuk celananya yang sedikit kotor karena debu jalan. Laki-laki dengan garis wajah tegas itu mengedarkan pandangannya ke depan. Kedua tangannya kini sudah memegang kembali kedua stang motornya. Dilihatnya tidak ada tanda-tanda kendaraan yang akan melintas di perempatan, Diki segera membelokkan motornya ke kanan. Ia sukses sampai di jalannya. Tidak begitu jauh, sebuah mobil melaju tanpa arah di depannya sejauh 100 meter. Mobil itu berbelok ke kanan dan ke kiri tak menentu membuat laki-laki itu mengerutkan dahinya bingung. Dia mencoba mencari jalan agar dapat melewati pengendara mobil yang ia yakini sedang mabuk. Sebelum Diki sadar ada celah dari sebelah kiri jalan dan menggas motornya kencang, mobil itu sudah meyenggol bagian ekor motornya dan membuat ia terpental ke tepi trotoar. Mobil yang hilang kendali tadi ikut menabrak pembatas jalan dan menghantam tiang lampu jalan.

Jalan yang semula lengang kini mendadak riuh-yang entah dari mana asalnya-mereka berlarian mendekati lokasi kejadian. Diki merasakan tubuh bagian belakangnya sakit karena lebih dulu mengenai ujung tepi trotoar. Dia meletakkan tangannya di wajahnya dan merasakan ada cairan dengan bau khas mengalir dari bagian pelipisnya. Sinar matahari masuk melalui ujung matanya yang sedikit terbuka. Suara dari kerumunan orang-orang tadi mengucapkan kata prihatin dan ada yang berteriak menyuruh memanggil ambulan. Kepala Diki menyentak sakit saat di sekelilingnya orang-orang berbicara dan tertangkap oleh indra pendengarannya. Tiba-tiba Diki merasa ada yang meraba pelipisnya dengan ragu-ragu. Tubuh Diki tersentak menerima sentuhan yang entah sejak kapan suara kecil dan gemetar menyebutkan namanya. Diki kenapa? Otak Diki masih bisa menerima dan mengirimkan sinyal bahwa ada seseorang di dekatnya. Tangan Diki yang tadi juga meraba pelipisnya telah ia jatuhkan ke aspal. Ia merasa tubuhnya sangat lelah untuk sekedar membuka mata.

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Where stories live. Discover now