Mereka berhenti di puncak dekat sungai kecil jauh dari sekolah. Langit sudah cerah, awan mendung sudah menepi memperlihatnya sedikit warna biru langit meski masih ditutupi oleh awan-awan tipis yang masih menari di tengah-tengah badan angkasa.

Riska membuka sepatunya dan merendamkan kakinya di dalam air sejuk yang mengalir mengikuti tempat landai munuju arah barat. Waldy melakukan hal yang sama, dia menopang tubuhnya dengan kedua tangannya yang ditahan ke tanah di belakang tubuhnya dan mendongak menatap langit. Matanya menyipit menghindari sinar matahari yang mengintip dari balik awan tebal di bagian barat bumi sore ini. Waldy menghela napas dan menatap Riska di sampingnya yang sedang memperhatikan ikan-ikan kecil yang mengelilingi jari-jari kakinya.

"Ngga geli?" tanya Waldy melihat ikan-ikan kecil itu mengigit-gigit jemari kaki Riska yang kecil-kecil dan panjang. "Hm?" Riska menoleh dan menggelengkan kepalanya. Kemudian dia kembali melihat ke dalam sungai lalu menggerak-gerakkan kakinya membuat ikan-ikan tersebut berlari menjauh dan mendekat kembali ketika kaki Riska sudah tenang. Riska tertawa dan melakukannya berkali-kali. Itu membuat Waldy ikut tertawa kecil melihat tingkah Riska yang kekanakan. Dia menyibak sedikit rambut Riska yang terurai menutupi bagian wajah Riska sebelah kanan dan mengaitkannya ke belakang daun telinga gadis itu.Riska mengangkat kepalanya dan menatap Waldy. "Cantik," guman cowok itu membuat pipi Riska bersemu merah jambu. Cepat-cepat dipalingkannya wajahnya ke arah lain, menetralkan detak jantungnya yang tak karuan.

"Tentang Dwira, apa kabar?" tanya Waldy tiba-tiba. Riska terdiam sebentar, detak bahagianya berubah gemuruh resah seketika. Kenapa Waldy menanyakan hal seperti itu sekarang. Di saat mereka hanya berdua dalam kesempatan waktu yang terbatas ini, Waldy malah mengacaukan moodnya. Riska berdeham dan mencoba mengubah mimik wajahnya sebiasa mungkin namun Waldy menangkap itu.

"Baik kok.. dia aman-aman aja," jawab Riska seadanya. Waldy manggut-manggut mengerti. Hubungan yang baik, pikir Waldy. "Ngga apa-apa kita ketemu gini? Ntar kalau Dwira lihat gimana?" tebak Waldy.

Riska tertawa hambar. "Bilang aja reunian. Haha.." Riska menepuk-nepuk pahanya saat tertawa. Sekarang giliran Waldy yang tertawa hambar. Reunian?

"Udah berapa lama kamu sama dia?" tanya Waldy. Ekspresinya sudah kembali normal dan menatap serius Riska yang masih membereskan sisa-sisa tawanya. Lagi-lagi Riska berdeham kaku menanggapi setiap pertanyaan menyebalkan dari mulut cowok di sampingnya. "Belum lama sih, satu bulan ini," sahut Riska tanpa menoleh. Bibir Waldy membulat membentuk huruf 'o'. Dia mengangguk-angguk tanpa melanjutkan bicara lagi. Mereka sama-sama tertegun menatap ke dalam air jernih yang mengalir teratur menuju tempat rendah entah ke ujung mana mereka akan berkumpul. Mereka larut dalam fikiran masing-masing bersama angin semilir yang menyentuh kulit keduanya.

"Sejuk ya," guman Riska. Ia menghirup oksigen dalam-dalam hingga memenuhi paru-parunya kemudian menghembuskannya pelan. Ia merasakan aura kedamaian di sekitarnya, membuat ia ingin berlama-lama di sana. Tiba-tiba Riska teringat sesuatu. Ia panik dan melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 15.14.

"Kenapa?" tanya Waldy yang menyadari perubahan raut wajah Riska. Gadis itu menoleh. "Aku harus pergi sekarang, Dy. Ngga apa-apa, kan?" kata Riska cemas. Waldy mengangkat alis bingung. "Kemana?"

"Penting. Mau ketemu temen aku." Riska bangkit dan mengeringkan kakinya lalu memakai sepatunya dengan cepat. Ia berdiri diikuti Waldy yang tak berkata apapun. "Aku antar ya," tawarnya.

Riska mengangguk lalu menaiki motor Waldy dan pergi dari sana. Dalam hati, Riska gusar, takut Dwira akan marah. Sementara Waldy tak banyak bicara dan mengintip dari spion melihat Riska yang terus mengecek jam tangannya setiap menit.

"Berhenti, berhenti," kata Riska menepuk-nepuk bahu Waldy dan cowok itu segera mengerem sepeda motornya dan berhenti di depan sekolah yang sudah sepi. Dahinya mengerut bingung karena Riska menyuruhnya berhenti di tempat pertama mereka bertemu tadi. "Makasi, ya. Aku harus pergi sekarang. Nanti aku telpon kamu malam," seru Riska kemudian berlari meninggalkan Waldy menuju arah Selatan dari jalan pulang ke rumahnya.

Waldy hanya tersenyum kecut dan membalas lambaian Riska. "Sama-sama," lirihnya. Ia menghidupkan mesin motornya dan pergi dari sana. Dalam hati, Dwira. Tebaknya.

Riska berlari secepat yang ia bisa. Rambutnya berterbangan di belakang punggungnya dan tasnya ikut bergoyang menghantam pinggangnya mengikuti gerakkan tubuhnya. Keringat yang membutir di dahinya dibiarkan saja terus di sana dan terasa dingin ketika bersentuhan dengan angin.

Dia berhenti di depan Halte dengan terengah-engah dan menstabilkan napasnya untuk kembali normal. Ketika ia mengangkat tubuhnya yang ditopang dengan kedua tangannya di lutut, ia melihat kejadian aneh yang membuat ia penasaran. "Kalian ngapain?" tanyanya mendekat setelah memastikan di depannya adalah orang yang ia kenal.

Sontak mereka berdua kaget dan menjauh satu sama lain. Dwira menjawab tergagap sementara Fadila bersembunyi di belakang Dwira sambil meremas ujung bajunya. "Fadila, kok lo ngga pulang?" tanya Riska datar. Melihat Fadila yang tidak bereaksi, ia mendekat. "Lo kenapa?" tanyanya lagi.

Jelas raut terkejut mewarnai wajah Fadila yang memerah. "Gu-e ngga apa-apa, kok," sahutnya tergagap. Sejenak Riska diam kemudian mengangguk. Ketika Dwira akan bicara lagi ia segera menstop sembarangan angkot yang lewat. "Gue duluan ya," katanya tanpa menunggu persetujuan mereka berdua dan segera naik ke dalam angkot.

Dari dalam Riska melihat mereka berdua hanya diam menatap angkot yang ia naiki. Dia mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan pesan untuk Rani.

Gue ke rumah lo sekarang.

Setelah itu Riska memberhentikan angkot dan menaiki angkot lain menuju rumah Rani.

♥~♥

Pluviophile [Tersedia Di Fizzo]Where stories live. Discover now