Part 32

2.8K 150 21
                                    

Part ini gue dedikasikan buat semua pembaca yang masih setia sama cerita gue, yg selalu setia vomments buat gue dengan ikhlas. Fyi, cerita ini mgkn bakal ending dalam beberapa chapter lagi, so don't miss it. Cerita ini juga akan gue jadiin novel pertama gue yang akan gue terbitkan. Semoga antusias pembaca untuk cerita ini yang AKAN menjadi novel semakin meningkat ^^

dan tentunya kalo udah dibukukan, cerita ini akan semakin banyak revisi dan bakal gue bkin semenarik mungkin.

okedeh udahan basa basinya, happy reading :D

***
Sunyi. Gelap. Dingin. Tiga kata itu yang mewakilkan suasana yang dirasakan oleh Diana saat ini. Tubuhnya serasa berat, matanya pun ikut berat namun dipaksa untuk terbuka. Dengan kepala yang masih terasa berdenyut-denyut, Diana mencoba mengingat apa yang terjadi padanya. Ia ingat bahwa ia pergi dengan Vicky, kemudian pulang ke apartemennya, lalu semuanya menjadi gelap.

Seketika perasaan takut menyelimuti Diana. Apakah ia sedang diculik? Ataukah ia akan dibunuh lalu dipotong-potong? Diana menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran negatif itu.

Dia tersadar bahwa ia saat ini sedang terduduk disebuah kursi empuk namun tangannya terasa dingin karna tangan kursi yang terbuat dari besi. Tapi tubuhnya tidak terikat seperti pembunuhan di film-film yang pernah ia tonton. Diana mencoba bangkit, namun rasanya kepalanya itu sebentar lagi akan meledak. Lalu Diana mencoba duduk kembali dan mengatur nafasnya.

Tiba-tiba semuanya menjadi sedikit terang. Lebih baik dari pada gelap. Sebuah lampu yang menyala berwarna kuning di tengah ruangan, tidak terlalu menampakkan keadaan di dalam sebuah ruangan itu. Diana mencoba menyesuaikan matanya dengan keadaan yang tiba-tiba terang. Diujung sana ia melihat seseorang yang berdiri tegap namun tertutup bayangan sedang memerhatikannya. Seseorang yang sepertinya adalah lelaki, mencoba berjalan mendekati Diana. Perasaan Diana saat ini berkabut, takut setengah mati. Tubuhnya tidak dapat bergerak, perlahan lelaki itu mendekat. Dan yang dilihat Diana sungguh membuat tenggorokannya tercekat. Seorang laki-laki menggunakan tuxedo hitam dan rambutnya dibiarkan berantakan menambah kesan liar dan tampan lelaki tersebut.

"J-Jason?" Ucap Diana terbata-bata. Jason menyunggingkan senyumannya. Diana masih tidak bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

"Diana." Sekujur tubuh Diana menegang mendengar Jason memanggil namanya. Diana masih bingung. Lalu tiba-tiba Jason berjongkok di hadapan Diana. Dalam cahaya remang-remang, Diana dapat melihat bola mata Jason yang berwarna hijau emerald sedang menatapnya begitu dalam.

"A--apa yang terjadi Jason?" Diana memberanikan dirinya untuk bertanya. Suaranya bergetar, ia takut Jason berbuat macam-macam padanya.

"Sssstttt.." Jason meraih kedua tangan Diana yang berkeringat dan dingin itu, lalu menggenggamnya dengan erat.

"Apa aku menyakitimu?" Tanya Jason kemudian. Diana tidak mengerti apa maksud Jason. Lalu Diana menggeleng.

"Maafkan aku jika harus seperti ini." Jason menghembuskan nafasnya berat.

"Sebenarnya ada apa? Mengapa aku disini? Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Aku tidak pernah tahu ternyata aku bisa jatuh terlalu dalam padamu, Diana. Bahkan dulu, kukira Nick-lah yang akan bersanding denganmu. Lalu kini kau bersamaku, dihadapanku. Memberikanku kebahagiaan yang lebih indah dari sebelum-sebelumnya. Cinta. Kepeduliaan. Dan anak kita." Diana masih menatap Jason bingung.

"Aku tidak ingin melepasmu, dan jangan pernah bermimpi untuk lepas dariku. Aku sangat mencintaimu." Lalu Jason melepaskan genggamannya dan merogoh saku celananya mengambil sesuatu dari dalam sana.

Sebuah kotak kecil transparan terbuat dari kaca yang begitu mengkilat, lalu didalamnya terdapat sebuah cincin. Diana mengernyit bingung.

"Diana Michelle, menikahlah denganku." Ucap Jason tegas, dan membuka kotak tersebut, menghadapkannya pada Diana. Oh, bahkan Diana tahu bahwa ucapan Jason bukanlah sebuah pertanyaan tetapi sebuah pernyataan tanpa penolakan. Diana menutup mulutnya dengan telapak tangan, rasa tidak percaya itu bertubi-tubi menghantam Diana. Ingin sekali rasanya saat ini ia berteriak sekencang-kencangnya bahwa ia sangat bahagia. Air mata kini telah mengisi sudut-sudut mata Diana dan berakhir jatuh ke pipi merahnya.

Love In Paris (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang