Part 12

3.1K 232 13
                                    

Diana tidak dapat tidur pulas dikasurnya yang sangat empuk dan nyaman itu. Matanya tidak dapat terpejam sedari tadi. Ia berbalik ke kanan dan ke kiri mencari posisi nyaman, tetapi rasanya beribu paku menusuk ke dalam tulang belulangnya, membuatnya merasa susah tidur di kamarnya sendiri.

"Aaarrghhh!!!!" Ucap Diana frustasi.

Padahal tadi ia sudah menangis, menumpahkan semua kesakitan dan kerinduannya yang mendalam kepada lelaki itu. Tetapi matanya yang sudah sembab itu tidak dapat membuatnya tertidur pula.

"Jason." Bisik Diana. "Apa yang sedang kau lakukan disana? Apa kau memikirkanku seperti aku memikirkanmu?" Diana menatap keluar jendela kamarnya. Bulan sangat terang malam ini. Tetapi, bulan hanya sendirian. Tidak ditemani oleh sang bintang. Bagaimanapun, sang bulan tetap menampakkan cahayanya yang sangat indah. Membuat Diana menerawang hingga ke angkasa, membuatnya mengkhayal bahwa suatu saat Jason akan melihatnya.

Tapi harapannya sirna, ketika bayangan wanita itu hinggap di khayalannya. Wanita yang bahkan ia tidak tahu hubungan seperti apa yang mereka miliki. Wanita yang sempurna. Yang pasti, bukan dirinya.

**
"Diana!" Sebuah suara memanggilnya. Diana berjalan dengan lemas dan menoleh dengan pasrah ke asal suara tersebut.

"Oh, hei Vic." Ucap Diana lemas.

"Hei, kau baik-baik saja?" Tanya Vicky khawatir melihat Diana yang seperti mayat hidup saat ini. Matanya merah, lingkaran mata tampak jelas di bawah matanya. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya pun seperti kehabisan energi.

"Aku baik-baik saja." Ucap Diana dengan senyum terpaksa.

"Tidak! Kita harus memeriksamu ke dokter." Ucap Vicky dengan penegasan disetiap katanya.

"Tidak! Aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah, dan mengantuk."

"Kalau begitu, aku antarkan kau pulang. Kau tidak perlu masuk dulu hari ini. Kondisimu sedang tidak baik."

Diana menatap sahabatnya itu, memang hanya Vicky-lah yang selama ini selalu peduli dengannya. Disaat semua orang satu persatu meninggalkan Diana, Vicky-lah yang berada paling depan untuk memeluk Diana.

"Percayalah, Vic. Aku baik-baik saja." Ucap Diana meyakinkan sahabatnya itu.

"Benar? Jika kau butuh sesuatu, jika terjadi apa-apa, hubungi aku."

"Baiklah, Mr. Russhell."

Vicky mengacak-ngacak rambut Diana gemas, temannya satu ini memang susah sekali di atur.

"Hei! Rambutku bisa seperti orang gila jika kau terus mengacak-ngacaknya." Sungut Diana kesal karna pelakuan Vicky.

"Lebih baik begitu" ucap Vicky yang di balas dengan tatapan marah Diana.

"Aku berat untuk mengatakan ini, tapi aku ada kelas sekarang. Sampai jumpa lagi." Vicky pergi meninggalkan bekas cubitan di pipi Diana yang membuat Diana mengusap pipinya dengan kesal.

Diana merasakan ada sepasang mata yang memperhatikannya tajam. Mendadak bulu romanya berdiri. Ia merasakan hawa yang dingin saat ini.

Diana mencoba menolehkan kepalanya, dan matanya menelusuri tiap tempat.
Tidak ada siapapun, hanya ada muda-mudi yang sedang mengobrol dan bercanda dengan teman-teman mereka.

Diana berjalan ke arah kelasnya. Dia duduk di bangku kelasnya dengan tangan bertumpu pada dagunya.

Aku benar-benar mengantuk saat ini. Mataku lelah, batin Diana.

Sebuah sosok berdiri di depan kelas, memperhatikan Diana dengan tatapan rindunya. Tatapan ingin merengkuh Diana ke dalam pelukan hangatnya.

Mata biru laut Diana bertemu dengan mata hijau emerald milik lelaki tersebut.

Love In Paris (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang