65. Dihancurkan Obsesi

1K 191 28
                                    

Jeritan ketakutan Mara terdengar begitu nyaring tepat setelah suaminya membenturkan kepala Bobi ke jendela kaca hingga pecah. Harja membiarkan kepala adiknya itu tersangkut di bingkainya dengan darah yang mengalir deras dan menghampiri Mara yang berusaha lari menuju pintu keluar.

"Mau ke mana, sayangku?" tanya Harja dengan suara rendah, menjambak pangkal rambut Mara yang terurai berantakan lalu membanting wanita itu ke lantai kayu.

Mara terpekik kesakitan. Sikunya yang menjadi tumpuan jatuh terasa amat perih. Namun, ia tidak punya waktu untuk menikmati rasa sakit itu karena sadar kalau sekarang nyawanya sedang terancam dan harus segera menghindar bagaimanapun caranya.

Mengetahui mangsanya ingin kabur, Harja tanpa ampun menginjak punggung Mara yang baru akan bangun, membuat wanita itu mengeluarkan suara berdengik karena jeritannya yang tertahan.

"A-ampun, Mas ... akh!" Mara tahu dengan pasti, jika sudah dalam keadaan tubuh yang sakit begini, maka kesempatan untuk kabur makin kecil. Secara kekuatan dan kecepatan mereka sangat jauh berbeda. Ia tidak punya pilihan lain selain memohon agar pria yang sedang kesetanan itu menyisihkan sedikit saja rasa kasihan untuknya. "Ini ... nggak ... kayak yang kamu ... pikirkan ...." Susah payah Mara mengucapkan itu karena tekanan yang begitu kuat pada punggungnya.

"Hm? Emang apa yang aku pikirkan, Mara?" Harja bertanya lembut, sangat berbanding terbalik dengan perlakuan kasarnya yang kembali menjambak rambut sang istri, memaksa wanita itu mendongak setelah menyingkirkan kakinya yang menekan punggung. "Kamu mau jelasin? Oke. Aku bakal kasih kamu kesempatan," ujarnya berbisik tepat di telinga Mara.

Pria itu lantas membopong tubuh lemah istrinya yang gemetar ketakutan, menepuk-nepuk bokong Mara dengan sayang untuk mendiamkan tangisannya yang terisak pelan. "Ssst ... jangan nangis, ya? Aku minta maaf udah kasar, tapi itu karena kamu yang nakal. Jadi, jangan nangis."

Mengedarkan pandangan ke sekeliling, Harja akhirnya menemukan tempat yang sekiranya nyaman bagi mereka berdua untuk berbicara dari hati ke hati. Sebuah sofa tua di dalam kamar tidur. Sofa yang dulu menjadi tempat mereka berdua tertawa riang sambil memandangi rindangnya pepohonan di balik jendela yang berkilauan oleh embun yang memantulkan sinar mentari pagi.

"Kita duduk sini, ya?" Harja duduk lebih dulu, lalu memangku Mara, mendekap tubuh kecilnya yang tak berhenti menggigil dan gemetaran, mengusap-usap sambil mendaratkan kecupan pada puncak kepala yang menguarkan aroma harum yang selalu Harja sukai. "Nah, sayang. Jelasin kenapa ada Bobi di sini? Nggak. Kenapa kamu kabur ninggalin aku sendiri setelah aku belain kamu? Hm?"

"M-maafin aku ... ukh!" Mara merintih merasakan tangan besar Harja yang meremas lengan atasnya kuat. Air matanya tak berhenti mengalir dengan dada yang sesak. Ia ingin lari dari sini, dari dekapan hangat Harja yang malah terasa amat dingin. "Sakit, Mas ...."

"Bukan maaf yang aku mau denger, Mara. Tapi penjelasan. Penjelasan!" bentak Harja, tiba-tiba emosinya kembali tersulut dan mendorong Mara hingga tersungkur ke atas karpet bulu yang telah kusam. "Kenapa kamu ninggalin aku buat disalahin semua orang, hah?! Padahal aku yang bela kamu! Aku ngelakuin itu buat kamu, jalang! Tapi kenapa kamu malah enak-enakan sama babi sialan itu, hah?! Kenapa?!"

"Akh!" Mara menjerit, menutupi telinganya bersamaan dengan Harja yang melempar kursi kayu mini ke dinding. Pada titik ini, mental Mara sudah tidak mampu lagi menahan segala tekanan yang telah membuatnya gelisah selama beberapa hari ke belakang. "Ampun! Ampun! Aku nggak bermaksud kayak gitu ... aku mohon ...."

"Ah, selain godain Hildan, kamu juga selingkuh sama Bobi? Iya?"

Mara merangkak mendekati Harja yang menjulang tinggi dan menatapnya bengis bak predator yang ingin mencabik-cabik mangsanya. Dipeluknya kaki pria itu dengan kedua lengan yang lemas. "Aku akui kesalahanku ke Hildan, t-tapi nggak sama Bobi. Y-yang kamu liat tadi itu s-salah paham. B-bukan aku yang g-godain dia, tapi dia yang m-maksa aku. T-tolong percaya, M-mas," ucap Mara tergagap di tengah isakan tangisnya dan mata yang terpejam erat.

Mayuno The FiguranDär berättelser lever. Upptäck nu