55. Sebuah Rasa (2)

1.5K 185 35
                                    

"Aku beneran suka sama kamu!"

Ada jeda keheningan setelah teriakan kedua Hildan bergema. Menyisakan suara gemerisik dedaunan yang menyatu dengan kecipak air sungai serta suara mesin kendaraan yang tak pernah padam. Kota besar ini memang memang selalu terjaga, tak pernah sekalipun diam dari segala aktifitas manusia.

"Terus?" Hanya itu jawaban yang pertama kali terlintas di pikiran Mayuno. Gadis itu agak kaget hingga otaknya seolah sedang mengalami loading. Yang jelas, pokoknya ia harus mengatakan sesuatu untuk memutus keterdiaman mereka. "Terus kenapa?"

"Ha? Terus ...." Hildan ikut bingung sebab ia tidak menyangka akan mendapat tanggapan yang dingin seperti itu. Mayuno ini, entah sejak kapan pandai sekali menghancurkan suasana romantis yang ingin ia bangun.

Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Hildan jadi harus memikirkan kembali kalimat yang telah dirangkai sejak obrolannya dengan Theo ketika mereka pergi ke minimarket membeli popcorn.

"Kamu kenapa marahan sama Pinky?" tanya Theo setelah mereka keluar dari minimarket dan masuk ke mobil.

"Bukan urusan kamu. Udah, jalan," Hildan menjawab ketus, tak ingin membahas masalahnya kepala orang lain selain Putra.

Namun, Theo bersikeras. Dimatikannya mesin mobil yang sudah hidup. "Nggak. Jawab dulu."

Hildan menghembuskan napas, merasa kesal karena dipaksa untuk berbicara dan juga panggilan aneh yang selalu Theo sematkan pada Mayuno. "Emang kamu siapa mau tau urusan orang? Dan tolong berhenti manggil dia kayak gitu." Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi sembari melihat sepasang manusia yang saling merangkul berjalan menuju trotoar.

Theo mengedikkan bahunya santai, tetapi kemudian melayangkan sindiran halus. "Terserah aku, dong. Orangnya aja santai, kenapa kamu yang sewot? Lagian dia itu calon mantan kamu, kan? Jadi nggak usah sok posesif."

Mendengar itu, Hildan pun tidak bisa menahan diri untuk duduk tegak, menyorot lelaki di sampingnya tajam. "Ngomong apa? Theodore, aku tau kamu suka bercanda, tapi ini nggak lucu. Calon mantan? Bahkan sekarang aku nggak mikir kayak gitu."

"Oh, jadi sebelumnya pernah mikir gitu, kan? Lucu. Si berengsek Hildan berubah pikiran, kah? Kenapa? Kamu dipelet?" Theo mengangkat alis, tersenyum mengejek.

"Theo ...." Hildan mendesis, ingin menjawab tetapi langsung dipotong.

"Kamu tau, kamu itu salah satu tipe manusia yang paling aku benci. Manusia yang hobinya nyakitin hati cewek di saat dia terlahir di rahim cewek, tapi nggak sekalipun dapet karma."

Hildan mendengus geli mendengarnya, mengingat semua kekerasan yang pernah ia dapatkan selama ini. Menurutnya, itu juga sudah termasuk karma. "Asal kamu tau, aku udah sering ditampar tangan ataupun tas, disiram minuman, kena bogem, sama ditendang juga. Jadi pernyataan kamu nggak valid sama sekali. Aku selalu kena karma tiap mutusin cewek."

"Itu bukan karma, stupid. Kamu aja yang suka digituin. Dasar masokis. Kamu pikir di sekolah kita nggak ada yang tau gitu kalo kamu dulu selalu senyum tiap kali dikasarin cewek waktu minta putus? Oh, ngomong-ngomong sumbernya Putra."

Sialan sekali sahabatnya itu. Orang waras mana yang membuka rahasia sahabatnya sendiri?

"Setia kawan banget dia. Awas aja nanti."

Walaupun tidak suka dengan sebutan masokis, Hildan tidak bisa mengelak. Karena itu akan membuka rahasianya yang lain. Bukan kekerasan yang ia nikmati selama ini, tapi kemarahan para gadis itu.

"Ya. Karena dia juga waras. Nggak kayak kamu. Lupain soal itu, ada masalah apa kamu sama Pinky? Selama beberapa hari ini dia nggak fokus belajar sampe tadi juga mukulin lipan sampe penyet sambil nyumpahin mati." Theo membalas enteng sekaligus memberitahukan kejadian tadi sore.

Mayuno The FiguranWhere stories live. Discover now