26. Mulai Ragu

2.2K 207 4
                                    

"May, boleh pinjem bahu kamu sebentar?" tanya Hildan setelah cukup lama berdiam diri, membuat gadis itu kaget karena jarak mereka yang entah sejak kapan sudah sangat tipis. Meski begitu, ia tidak mau menoleh.

Selepas kepergian dua orang yang tidak Mayuno ketahui siapa, Hildan dengan rahangnya yang lebam serta sudut bibir robek melangkah gontai ke undakan rendah tempat mereka duduk sebelumnya, menghempaskan pantat ke sana sembari tertunduk memegangi kepalanya sendiri. Ia meremas-remas rambut yang sudah disisir rapi, mengakibatkan helai merahnya jadi berantakan.

Cukup lama lelaki itu diam dalam posisi itu, hingga Mayuno lelah berdiri dan memutuskan untuk duduk juga, duduk berjarak satu meter darinya karena merasa tak nyaman berdekatan dengan orang yang suasana hatinya sedang buruk. Namun, sekarang Hildan justru mengikis jarak di antara mereka, bahkan menahan pinggangnya saat ingin bergeser menjauh.

Tidak tinggal diam, sebuah cubitan mendarat di tangan Hildan. Namun, alih-alih melepaskan pinggang Mayuno, lelaki itu hanya berdesis kecil dan makin mengeratkan pegangannya.

"Kamu nakal, May," bisiknya lagi lebih dekat. Sangat dekat hingga embusan napasnya membelai daun telinga Mayuno yang langsung bergidik.

Tidak cukup dengan itu, Hildan dengan seenaknya menyandarkan kepala ke bahu sempit Mayuno yang kaku, menyebabkan rambutnya yang tertiup angin menggelitik pipi gadis itu.

"Sebentar aja ...," katanya lagi saat merasakan penolakan.

"Kita diliatin orang."

"Lima detik. Cukup lima detik."

"5, 4, 3, 2, 1. Waktu habis. Lepas." Mayuno menarik lepas tangan Hildan yang memeluk pinggangnya, mendorong kepala lelaki itu lalu segera berdiri sebelum dicegah lagi. Wajahnya amat panas, memerah seperti orang yang memakai perona pipi berlebihan. Malu sebab menjadi tontonan pengunjung walaupun tidak ramai.

Hildan mendongak, memandang Mayuno sendu, tapi sedetik kemudian ia mengulas senyum yang tampak dipaksakan. "Pacar aku pelit banget, sih," katanya lalu ikut berdiri sembari menepuk celana panjang bagian lututnya yang tidak kotor. "Pulang? Atau ...."

"Pulang," potong Mayuno cepat.

Hildan hanya tersenyum sebagai tanggapan, agak sakit mendapat respon seperti itu saat sedang bersedih. Ia kemudian mengikuti arah pandang Mayuno yang sengaja menghindarinya. Di sana, terlihat langit kelabu, mendung entah sejak kapan.

"Oke, kita pulang." Hildan menyetujui.

Selama perjalanan menuju rumah Mayuno—setelah mampir ke apotek—lelaki itu terus bungkam. Tidak berbicara, tidak pula menghidupkan musik dan bernyanyi seperti yang sudah-sudah. Mayuno pun tidak berminat untuk membuka obrolan apa pun, ia diam juga sambil memegangi sabuk pengaman. Namun, dalam diam gadis itu merasa agak kasihan melihat ekspresi murung Hildan dari ekor matanya.

Teringat saat tadi lelaki itu sempat tersandung karena melamun, terantuk dahan pohon karena melamun lagi, dan menabrak pilar dekat warung karena melamun juga. Lalu ketika mereka berhenti di apotek untuk mengobati luka di sudut bibirnya, Hildan menabrak pintu kaca di sana.

Dia benar-benar kehilangan fokus dan membuat Mayuno yang merasa khawatir membiarkan lelaki itu menyetir, menyarankan agar naik bus atau taksi, tetapi Hildan bersikeras mengatakan kalau ia sudah baik-baik saja karena tangan ajaib Mayuno sudah mengoleskan salep untuknya. Bahkan di saat seperti itu, Hildan masih mencoba menggombal.

Gombalan itu tidak membantu sama sekali. Mayuno masih khawatir mengalami insiden yang membahayakan nyawa oleh keteledoran Hildan. Ingin naik kendaraan umum, masih belum berani sebab ia belum kenal kota ini dengan baik. Itulah penyebab mengapa Mayuno memegangi sabuk pengaman dengan erat.

Mayuno The FiguranWhere stories live. Discover now