17. Masalah

2.7K 249 2
                                    

"Tari, sebelumnya saya ingin bertanya, kamu bekerja di salon milik ibu Neti?" tanya Bram memulai percakapan atau lebih tepatnya interogasi.

"Iya, Pak."

"Menurut pandangan kamu, seperti apa ibu Neti sebagai seorang atasan?"

Tari tidak langsung menjawab karena merasa pertanyaan Bram tidak ada hubungannya dengan keributan tadi. Ia sempat ragu, tapi memutuskan untuk mempercayai gurunya itu dan menjawab, "Bu Rina sangat baik, Pak. Saya bahkan berpikir nggak akan ada atasan yang sepengertian beliau."

"Begitu .... Apa pernah beliau marah dan mengatakan sesuatu yang menyakiti hati kamu?"

"Pernah. Waktu itu saya masih pegawai baru dan belum terlalu ngerti soal pekerjaan. Tapi saya paham, itu cuma bentuk ketegasan aja." Tari menjeda, mencoba mengingat perasaannya saat itu. "Saya memang sempat merasa sakit hati, tapi nggak lama karena kalau dipikir kembali memang itu kesalahan saya," jawabnya jujur.

Tari menambahkan, "Beliau sangat baik kepada saya, Pak. Orangnya tegas tapi pengertian. Kegiatan dan tugas sekolah saya pun tetap bisa jalan walaupun saya kerja. Bahkan beliau juga selalu mengajak saya makan malam." Makan malam yang lebih layak dan hangat daripada keluarganya sendiri. Di mana ia tidak dipelototi dan disindir saat makan.

Pernyataan yang diberikan Tari sama persis dengan yang dikatakan Neti. Bram memerhatikan ekspresi Tari saat menjawab pertanyaannya. Hasilnya, tidak ada tanda-tanda keterpaksaan sama sekali, apalagi raut kebencian. Tari benar-benar terlihat tulus, bahkan ia sempat tersenyum ketika menceritakan kebaikan ibu Neti. Apa mungkin gadis selembut itu bisa melontarkan hinaan sejahat itu?

Tidak bisa dipungkiri, manusia bisa saja memiliki lebih dari satu wajah. Orang yang pendiam belum tentu tidak memiliki keburukan. Dia juga pernah bertemu murid yang di luar sangat sopan tapi ternyata ketikannya amat kasar di media sosial, atau orang yang kasar di luar tapi rapuh di dalam.

Manusia itu sangat kompleks. Karena itu, Bram tidak langsung percaya dan mencoba mencari kepercayaan Tari dengan kata-kata ?manis agar ia lebih terbuka tentang perasaannya sendiri.

"Kamu sekolah dan bekerja, pasti sangat berat, kan? Dan saya dengar kamu masih bisa masuk ranking lima di kelas di tengah kesibukan kamu itu. Kamu hebat Tari."

Mendengar pujian Bram membuat Tari terharu. Ia ingat saat mengatakan mendapat ranking lima di kelas kepada orang tuanya, dan ayahnya hanya berkata, "Cuma lima? Tingkatin lagi. Aku dulu nggak pernah keluar dari tiga besar." Sedangkan sang ibu hanya diam sambil mencuci piring.

Apalagi sang Kakak juga menimpali dengan kalimat remeh. "Ranking lima aja bangga. Nggak ada impact-nya sama sekali. Nggak bikin terkenal juga."

"Kalau kamu ada unek-unek mengenai pekerjaan, kamu boleh menceritakannya kepada saya. Rahasia kamu saya jamin aman. Jangan khawatir. Setidaknya agar beban pikiran kamu berkurang," kata Bram lagi mencoba memancing rasa simpati Tari.

"Terima kasih perhatiannya, Pak. Daripada soal pekerjaan .... " Tari terdiam sejenak menatap kedua tangannya sendiri begitu sendu, lalu menggeleng. "Pokoknya makasih, Pak," ujarnya memaksakan seulas senyum.

Tidak perlu orang lain tahu bagaimana ia diperlakukan di keluarganya sendiri. Tari merasa Bram orang yang baik, tapi orang yang baik pasti akan langsung kasihan kepadanya. Jujur saja, Tari malu. Malu dikasihani.

Bram tahu ada hal lain yang mengganggu pikiran Tari, tapi ia memilih diam dan mengalihkan pembicaraan pada topik utama. "Saya mau kamu baca ini," pintanya pada Tari saat menyodorkan ponselnya sendiri.

Gadis itu menerimanya. "Apa ini, Pak?"

"Silahkan kamu lihat sendiri."

Dengan ragu Tari mulai membaca obrolan yang tertera di tangkapan layar itu, sementara Bram memilih berdiri dari kursi dan melakukan hal lain.

Mayuno The FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang