51. Waktu Santai

1.3K 214 39
                                    

Dari semalam sampai sekarang tiga hari telah berlalu, Mayuno terus mengabaikan panggilan, pesan, dan ajakan untuk berbicara dari Hildan sampai lelaki itu akhirnya diam, pergi dengan langkah gontai dan raut wajah lesu sehingga menarik perhatian, berkembang menjadi gosip di sekolah.

Banyak yang mempertanyakan penyebab perselisihan mereka dan heran karena tidak biasanya melihat lelaki itu tampak sedih setelah didiamkan ketika berbicara. Benar-benar didiamkan selama lima belas menit tanpa balasan sepatah kata pun, seolah Mayuno tidak mendengar maupun melihat keberadaan Hildan. Terakhir kali Mayuno berkomunikasi dengan Hildan adalah ketika mengirim pesan pagi ini.

[Nggak usah jemput. Hari ini pun nggak usah nemenin aku makan di kantin. Kita masing-masing aja]

Setelah mengirim pesan itu, Mayuno memblokir nomor Hildan dan mencegah lelaki itu mengganggunya lewat ponsel. Namun, rupanya itu tidak cukup untuk membuat Hildan menyerah. Di sekolah, lelaki itu masih menjemputnya ketika akan makan siang.

Mayuno tidak menggubris ocehan lelaki itu sedikitpun dan terus memakan bekal yang disiapkan Ita pagi ini. Ia terus bungkam sampai satu per satu murid yang masuk ke kelas dan melihat itu meliriknya sambil membisikkan sesuatu yang tidak terdengar jelas. Hildan mungkin menyadari itu dan memilih pergi.

Melihat punggung merosot Hildan yang menjauh, Mayuno entah mengapa agak kasihan. Namun, rasa kasihan itu kalah dominasi oleh kekesalan yang selalu muncul tiap kali foto berciuman itu membayangi pandangannya, meskipun Hildan sudah menjelaskan semuanya lewat voice note tentang penyebab munculnya foto itu.

Mayuno tidak peduli dan mengabaikan semua itu karena egonya terus mengatakan untuk diam dan diam. Biarkan saja lelaki itu jungkir balik sendirian, tapi mengapa?

Mengapa egonya berkata demikian? Padahal mulutnya selalu menyangkal dengan mengatakan kalau dia tidak marah. Untuk apa marah? Mengapa Mayuno harus marah? Dengan siapa dia marah?

Pertanyaan seperti itu terus menghantui dirinya sejak malam setelah kemunculan Mara kembali. Mayuno tidak mengerti dengan perasaan itu. Ia tidak ingin marah tapi ia marah, dan kemarahan itu kini dilampiaskan dengan memukul-mukul kepala lipan seukuran jempol tangan orang dewasa yang tergeletak tak berdaya di hadapannya dengan palu daging, tidak peduli meski ujung tubuh hewan berkaki banyak itu sudah hancur.

"Mayuno, k-kayaknya itu udah mati, deh." Enzi berkata ragu-ragu sembari turun dari sofa, ingin mendekat tetapi aura di sekitar gadis pink yang tengah berjongkok di lantai itu membuatnya agak takut.

Enzi menoleh pada Dante dan Theo yang mematung di ambang pintu kemudian berganti pada Mayuno lagi. Gadis itu masih berada di tempat yang sama, melakukan hal yang sama berulang kali bahkan kini sambil bergumam.

"Mati. Mati aja kau."

Tidak berani menegur, Enzi lantas melangkah cepat, setengah berlari dengan berjinjit ringan mendekati dua lelaki yang masih bergeming.

Mereka baru saja datang dari membeli cemilan dan minuman untuk melengkapi perayakan ulang tahun Enzi dan langsung disuguhi oleh pemandangan tidak biasa, di mana ruangan apartemen yang berantakan oleh barang-barang berserakan di lantai, serta Mayuno yang tidak ubahnya seperti orang kesurupan, diam memelototi mayat lipan sembari terus memukulnya. Keduanya hanya bisa berkedip bingung.

Enzi menarik kerah jaket Theo agar lelaki tinggi itu sedikit membungkuk. "Theo, sadarin dia, dong," pintanya berbisik, merasa kalau saat ini tidak boleh bersuara keras atau Mayuno akan menoleh, menampakkan ekspresi layaknya setan di film horror.

"Kenapa berantakan gini, Kak? Terus itu Mayuno kenapa?"

"T-tadi ada lipan. Lipan 'kan serem, ya? Jadi aku lemparin 'lah dia sama apa aja tapi nggak kena-kena. Sedangkan Mayuno lagi di toilet. Untung nggak lama dia keluar, dia yang bunuh. Tapi nggak tau kenapa sampe sekarang dia kayak gitu."

Mayuno The FiguranWhere stories live. Discover now