"Kamu dah bangun?" tanyanya setelah melirikku sekilas.

"Hem," balasku setelah menguap. "Tadi rame?"

"Kayak biasa, orang-orangnya juga sama."

Aku memejamkan mata dan menyandarkan kepala ke lengan Demas. Aku tidak pernah melarangnya pergi futsal dengan teman-temannya, karena dia butuh itu untuk menghilangkan penat dari pekerjaannya. Namun, aku selalu ingin melarangnya bermain ponsel ketika aku ingin bicara empat mata. Seperti kali ini, aku bertindak impulsif dengan menarik ponselnya dan meletakkan di meja.

Demas sempat terkejut sebelum akhirnya menoleh dengan tampang datarnya. "Kamu mau ngomong?"

"Iya." Aku menekuk kedua kakiku di sofa, lalu menghadap pada Demas dengan tampang serius. "Mas, kamu sadar enggak sih. Semenjak kita nikah kamu makin sibuk sama kerjaan. Aku ngerasa waktu kita jadi lebih sedikit dari pada dulu. Aku sering banget nunggu kamu di rumah sampai jam sepuluh malam."

Tatapan Demas langsung redup, seolah ada perasaan bersalah di sana. "Iya, maaf ya. Kamu sendiri kan tahu kerjaan kita sepadat apa." Selalu saja itu yang dia katakan kalau aku sudah mulai merongrong lagi.

"Kerjaan kamu, bukan kerjaan aku!" Aku meralat kalimatnya. "Kita enggak usah ikut acara-acara keluarga besar Papa deh tiap Sabtu, kalau diajak kumpul lagi jangan mau. Aku pengin kita punya long weekend dan pergi kemana gitu. Masa setelah nikah rutinitas kita cuma kerja, rumah ini, rumah Mama, arisan keluarga Papa, gitu-gitu aja terus. Aku tuh butuh kamu, Mas. Aku pengin kita berdua bisa bebas dari dinamika sehari-hari, liburan yukkk!" rongrongku seperti anak SD menyambut libur semester. "Nunggu kamu enggak ada kerjaan kayaknya enggak mungkin. Aku sudah enggak sabar nih, Mas. Pengen banget liburan bebas tanpa intervensi ini dan itu."

Demas mengangkat kedua alisnya, "Minggu lalu bilangnya mau sabar sampai proyekku selesai, kan?"

"Sabarku keburu habis! Hihihi." Aku menyengir lebar.

Demas pura-pura pingsan di sandaran sofa, sedetik kemudian dia kembali duduk tegap. "Soal acara keluarga Papa, kamu sendiri yang iya-in permintaan Papa. Masa tiba-tiba kita enggak datang. Enggak enak dong." Meskipun Demas tidak terlihat nyaman di tengah-tengah keluarga besar Papa yang super ribet, tetapi dia selalu menghormati semuanya dan berusaha menjaga perasaan Sang Mertua.

"Kamu tenang aja, aku yang bilang kalau kita enggak akan sering-sering ikut acara arisan di keluarga Papa. Aku juga sebenarnya males banget kalau harus kumpul sama mereka, selalu aja ada yang dipamerin, padahal aku enggak pernah mau tahu apalagi nanya. Terus kamu ya, Mas. Kamu butuh waktu juga buat istirahat, Mas. Kamu enggak capek apa kerja setiap hari ditambah hari Sabtu harus pasang muka pura-pura bahagia padahal capek banget?! Belum lagi Minggu suka ikut futsal sama teman-teman kamu. Mending acara di luar yang enggak penting itu dikurang-kurangin aja, Mas. Kita, kan, bisa berdua kayak gini jadinya." Aku menyenggol lengan Demas, tersenyum penuh rayuan maut.

"Ya sudah, kalau menurut kamu harusnya gitu." Demas terlihat pasrah dengan pendapatku. Padahal aku menginginkan respons yang lebih baik dan manis dari ini, seperti "oke, Sayang. Kita berduaan aja tiap Sabtu" kalau gini kan kedengarannya lebih enak. Dasar laki-laki, makhluk to the point dan enggak mau ribet!

Aku mengacungkan jari telunjuk di depan wajah Demas setelah selesai mendumal dalam hati. "Satu lagi!"

"Apa?"

"Bulan ini kamu sudah dua kali bolak-balik Bandung, kamu enggak disuruh pindah ke sana, kan?" Aku menatap Demas lamat-lamat, semoga tidak ada hal yang dia sembunyikan dariku. Tidak ada kejutan yang bisa membuatku jantungan. Aku tidak mau Demas dipindah tugaskan ke Bandung.

"Enggak," jawabnya disertai gelengan. "Jangan khawatir, aku masih di Jakarta kok."

Syukurlah, aku lega mendengarnya. "Kenapa sih perusahaan enggak nyari orang baru aja buat ngurus cabang Bandung, kenapa harus kamu yang ke sana? Kita hampir enggak punya waktu, Mas, gara-gara ngurusin kantor!"

ENCHANTED | EndWhere stories live. Discover now