Chapter 62

1.6K 64 8
                                    

Detak jarum jam mengalun begitu jelas di ruangan sunyi nan sepi itu. Beriringan dengan suara dari layar monitor yang terhubung dengan tubuh seorang manusia yang tengah terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Ruangan itu dominan bewarna putih, yang malah menambah kesan jika ruangan itu benar-benar monoton dan kurang nyaman untuk ditinggali.

Seseorang masuk melewati satu-satunya pintu akses menuju ruangan. Ia menggeret kursi pelan, lalu memposisikan dirinya duduk di samping brankar tempat seorang gadis dengan banyak luka gores itu terbaring lemah. Tangannya bergerak, menggenggam sedikit erat satu tangan gadis itu yang bebas dari infus. Mengelusnya, lalu mengecupnya dengan sayang.

"Kamu harus segera bangun, Sayang," ucap orang itu dengan suara serak. Nadanya sumbang dengan air mata yang terus membasahi kedua pipinya.

Sudah lima hari putrinya—Nara, tak kunjung membuka mata. Rasa-rasanya, hidupnya kembali seperti dulu ketika belum menemukan Nara. Sepi, hambar, dan merasa tak ada tujuan. Ya, buat apa ia hidup dan bekerja keras jika dulu tujuan hidupnya untuk siapa tidak jelas. Namun, setelah menemukan kembali Arabella-nya. Perlahan, Trisha menemukan arti dirinya hidup. Ia masih punya keluarga, rumahnya untuk pulang, dan seseorang yang harus ia bahagiakan.

Trisha menatap wajah Nara yang tak semulus biasanya. Ia mengingat kejadian beberapa hari lalu. Ketika tubuh Nara tak sadarkan diri dengan beberapa luka dan darah di bagian tubuhnya. Trisha menangis histeris. Apalagi saat dokter bilang kondisi Nara yang kurang baik dan koma.

Hari ini, mungkin Trisha sudah sedikit tenang, tetapi tak menutup kekhawatiran dalam hatinya. Air matanya menetes yang dengan cepat Trisha mengusapnya.

"Cepat bangun, Nak." Trisha mengelus tangan itu dengan sayang.

Pada sisi lain. Di sore hari, tepatnya halte sekolah. Nara sedang duduk santai seperti sore-sore biasanya menunggu transportasi umum lewat. Seingatnya, ia sudah cukup lama di sini. Namun, satupun kendaraan tidak ada yang lewat.

Nara menghela napasnya panjang. Ia memejamkan mata kala semilir angin menerpa kulit pipin dan mengibarkan anak rambut yang tidak ikut terkucir. Sejenak, ia tersentak saat tangannya yang berada di sisi tubuh terasa di genggam.

Ia membuka mata, melirik ke samping dan sedikit terkejut ketika mendapati Daniel duduk di sana dengan senyuman tipis.

"Kamu ... di sini?" Dengan masih mempertahankan senyumnya, Daniel mengangguk sebagai jawaban.

"Kenapa nggak pulang?" Nara mengedarkan pandangannya. Ada yang aneh. Ia tidak mendapati motor Daniel. "Motor kamu ke mana?"

Daniel tak memberi jawaban, ia malah menarik kedua tangan Nara dan menggenggamnya. Nara mengernyit kebingungan dengan tingkah Daniel. 

"Lo baik-baik, ya?" Kerutan di kening Nara semakin jelas, ia juga merasakan genggaman tangan Daniel yang semakin erat.

"Iya, aku bakalan pulang baik-baik," jawab Nara meskipun ia sedikit merasa tak nyaman dengan ucapan Daniel barusan. "Lagi pula, kita bisa pulang sama-sama. Dengan begitu kamu tahu aku bakalan baik—"

"Nggak, Nara." Daniel menyela. Nara menaikkan kedua alisnya. Tangan Daniel beralih, naik menuju ke kedua bahunya. "Setelah ini, kita akan saling sendiri."

Tubuh Nara mendadak bergetar, ia memegang kedua lengan Daniel. Tatapannya tertuju pada tatapan Daniel yang menyiratkan keseriusan.

"Kamu bercanda?"

"Jaga diri kamu baik-baik, ya?" Daniel tak menjawab, tapi ucapan selanjutnya membuat Nara semakin berprasangka buruk, membuat tanpa sadar air mata gadis itu menetes.

"T-tapi kenapa? Kamu mau ke mana?" tanya Nara menggoyangkan dua lengan Daniel. Namun sang empu hanya diam menggenggam balik tangan Nara, mencoba menenangkan gadisnya meski itu tak berbuah baik sebab Nara sudah mulai terisak.

HeartbeatWhere stories live. Discover now