Chapter 25

1.6K 91 2
                                    

Nara menghela nafas panjang usai pelanggan itu menurunkan buku menu yang sejak tadi menutupi seluruh wajahnya. Dan, alasan Nara menghela nafas adalah karena orang itu tak lain dan tak bukan adalah Daniel. Cowok itu tersenyum lebar seolah tak punya rasa bersalah atas sikapnya tadi di kantin. Sungguh, sesabar-sabarnya Nara ia juga bisa muak.

"Selamat menikmati pesanannya, saya permisi." Nara berbalik tapi jelas tidak semudah itu karena Daniel menahannya. Memejamkan mata sejenak, Nara berbalik dengan pandangan datar. "Maaf, saya harus kembali kerja."

"Sebentar gue mau bicara."

"Saya—"

"Sebentar, Nara!"

Nara menghela nafasnya dan mendongak sejenak. Kemudian, menatap Daniel serius.

"Nanti," jawab Nara lalu benar-benar pergi. Entahlah, ia merasa sikapnya yang sekarang ini sangat cocok untuk menyeimbangi sikap seenaknya Daniel.

Daniel menatap kepergian Nara dengan decakan serta umpatan kecil. Sabar Daniel, lo nggak boleh kepancing emosi, batinnya mengingatkan. Daniel menikmati pesanannya, sesekali mengamati Nara yang sibuk mengantarkan pesanan pelanggan. Baiklah, Daniel mengalah. Matanya tidak buta untuk sekedar melihat kesibukkan Nara.

Daniel melirik panggung yang hari ini kosong. Berbicara soal panggung, sudah lama ia tidak manggung di berbagai kafe yang ada di penjuru kota. Menyesap minumannya satu tegukan, Daniel bangkit. Setelah berbicara sebentar dengan salah satu karyawan, Daniel naik ke panggung. Mengambil salah satu alat musik kesayangannya—gitar. Daniel mulai menyapa semua pengunjung. Saat semua atensi pengunjung mengarah padanya, Daniel mulai menyanyikan lagu yang menurutnya sangat cocok untuk suasana malam ini dan ... cocok untuk suasana hatinya.

Apa yang Daniel lakukan saat ini, tidak mungkin jika Nara tidak tahu. Meski di tengah kesibukannya mengantarkan pesanan, Nara tak menutup mata dan telinga untuk melihat menampilkan solo Daniel malam ini. Suara cowok itu benar-benar merdu dengan lagu yang ia bawakan, belum lagi ketampanan cowok itu yang bertambah saat bernyanyi dan membawa gitar. Nara tak berbohong, Daniel benar-benar tampan.

"Diliatin terus pacarnya." Nara menoleh, tersenyum paksa saat Zilla datang memergokinya yang sedang menatap Daniel dari celah-celah dapur. Nara menunduk, sedangkan Zilla beralih menatap Daniel yang berkharisma dengan penampilannya.

"Zilla aku balik duluan, ya?"

"Lo udah selesai?"

"Iya," jawab Nara lalu berlalu karena jam kerjanya yang memang sudah habis. Usai meletakkan nampan, Nara bersiap untuk pulang. Namun, di pintu dapur Zilla mencegatnya.

"Pulangnya harus banget dianter pacar ya, Ra?"

Nara mengeryit bingung, kedua tangannya yang menggenggam tali tas terlihat mengerat. Ia menggeleng sebagai jawaban tebakan Zilla yang salah.

"Masa, sih?" tanya Zilla tak percaya.

Nara menghela nafasnya pelan. "Ini karena kebetulan kita ada urusan. Kalau nggak, biasanya kan aku pulang sendiri," jawab Nara tenang.

"Lo ada masalah?"

"Aku lagi nggak mau bahas masalah ini, Zilla. Permisi," pamit Nara lalu bergeser melewati Zilla yang menggeram kesal. Nara tidak memikirkan hal itu, yang ada hanyalah menunggu Daniel selesai menghibur penonton dan mereka segera menyelesaikan masalah ini.

Tepat saat Nara menunggu di dekat kasir, Daniel memberi salam perpisahan yang membuat beberapa pengunjung mendesah kecewa. Terutama para anak muda yang sebaya atau lebih muda dari mereka terlihat tak rela melepaskan Daniel. Nara menghela nafas panjang melihatnya, mereka belum tahu saja sifat asli Daniel seperti apa.

HeartbeatWhere stories live. Discover now