Chapter 47

1.3K 58 0
                                    

Annyeong?
Ada yang nunggu?
Thanks buat yang masih bertahan, i love you guys so much.

Boleh kirim vote dan komen?🖤

Happy reading

***

Nara duduk dengan tak nyaman di sebuah ruang makan yang ada di rumah Trisha. Matanya terus melirik ke arah para pelayan yang hilir mudik membawa makanan untuk disajikan di meja. Nara benar-benar tidak nyaman. Disini, semua orang seolah menjadikannya seorang putri yang harus dilayani.

"Kamu mau apa? Mama ambilkan, ya?" tawar Trisha. Nara tergagap di tempat, ia bingung harus mengangguk atau tidak. Akhirnya, ia memilih diam dengan tatapan yang sulit diartikan pada Trisha.

Trisha mengerti, Nara masih belum bisa menerima ini sepenuhnya. Lagi pula, siapa yang tak bingung jika hidupnya berubah sedemikian mendadaknya? Dengan telaten, Trisha mengambil piring di hadapan Nara, lalu mengisinya dengan nasi dan berbagai lauk yang tersedia.

"Cu-cukup, Bu." Gerakan tangan Trisha terhenti, ia tersenyum miris mendengar panggilan Nara yang tak juga berubah. Sebisa mungkin Trisha menyunggingkan senyum lebarnya.

"Makan yang lahap, ya? Nanti kalau kurang bisa bilang ke Mama."

Nara mengangguk ragu. Ketika Trisha mulai melahap makanannya, Nara mengikutinya. Sekitar setengah jam berlalu, makanan di piring dua orang perempuan itu tandas. Nara diam, bingung ingin melakukan apa selagi Trisha mengelap sisa makanan di bibirnya bak seorang bangsawan.

"Mama ingin memperlihatkan kamu sesuatu. Kamu mau?" tanya Trisha. Wajahnya terlihat sumringah dan antusias, Nara jadi tak tega kalau sampai ia menolaknya.

"Boleh," jawab Nara membuat senyum Trisha tersungging.

Trisha memintanya untuk mengikuti langkah wanita itu menuju sebuah kamar yang berada di lantai dua. Bukan tangga yang Nara lewati, melainkan sebuah lift yang sama sekali tak membuatnya mengeluarkan energi. Nara didudukkan pada sebuah sofa, sedangkan Trisha tengah berkutat pada beberapa tumpukan album disebuah rak yang bercampur dengan buku-buku. Apakah Trisha suka membaca? Apakah ini berkaitan dengan dirinya yang juga suka membaca?

"Nara?"

"Ya?" Trisha tersenyum saat mengetahui putrinya ini baru saja tersadar dari lamunannya. Entah apa yang gadis dihadapannya ini pikirkan hingga gelagapan seperti orang yang terciduk.

"Kamu lihat ini," ajak Trisha mengambil posisi duduk di samping Nara dan mulai membuka album itu. Yang pertama tertangkap oleh pengelihatan Nara adalah sebuah foto seorang lelaki blasteran yang menggendong batita perempuan. Keduanya terlihat saling bertatapan dengan senyuman bahagia.

Entah mengapa bisa, Nara merasa nyeri di dadanya. Hingga tanpa disadari napasnya mulai berkejaran, matanya berkaca-kaca dan mengeluarkan air mata. Meski tak semua ia ingat, namun potongan memori tentang lelaki di foto itu membayangi Nara.

"Ara ...."

"Anak Papa."

"Sini, nak."

Nara kehabisan napas, hingga satu isak tangis akhirnya lolos keluar dari mulutnya. Ia merosot duduk di lantai, memeluk album itu dan menangis tersedu.

"Papa," lirih Nara mencoba memaksa ingatannya untuk kembali ke masa kecil. Masa di mana ia selalu menghabiskan waktu dengan lelaki di foto itu yang tidak lain adalah ayahnya.

"Papa," lirih Nara lagi yang terdengar memilukan bagi seorang ibu. Ia bagai seorang anak yang baru saja ditinggal pergi ayahnya, walaupun bisa jadi benar, karena nyatanya Nara juga baru mengingat dan mengetahui faktanya.

Trisha ikut duduk di lantai, menarik tubuh putri satu-satunya ke dalam pelukannya. Ia juga menangis merasakan sakit yang dirasa anaknya. Pada akhirnya, penantian Trisha tidak pernah sia-sia. Putrinya, Arabella, benar-benar masih hidup, bahkan sekarang berada dalam dekapannya. Aku menemukan putri kesayanganmu. Terima kasih telah meminta pada Tuhan untuk senantiasa menjaganya. Aku mencintaimu.

***

Belinda mengangsurkan sebotol air dingin yang diterima baik Altair. Belinda mengambil duduk di tribun sebelah Altair yang memandang kosong lapangan futsal Cakrawala. Seperti banyak beban yang cowok itu tanggung. Entahlah, Belinda gagal menebak isi pikiran Altair.

"Gue ... cowok yang buruk," celetuk Altair dengan senyuman miris. Ia selalu menganggap papanya merupakan pria paling buruk, ternyata ia juga sama. Harusnya, Altair tak melupakan fakta bahwasanya darah papanya juga mengalir pada dirinya.

"Kalau aja gue cowok baik, mungkin Sabrina masih ada. Gue yang terlalu egois nyatain perasaan gue ke dia. Tapi, nggak pernah gue peduli sama dia." Altair meneguk air itu untuk meredakan tenggorokannya yang tiba-tiba tercekat.

"Gue egois. Dari awal harusnya gue sadar kalau keadaan gue nggak memungkinkan buat menjalin hubungan, tapi--"

"Stop! Lo nggak gitu, Ta!" potong Belinda dengan penuh penekanan di setiap kalimat.

Altair meliriknya dalam tanpa berkedip. Seketika Belinda dibuat gugup sekaligus menciut.

"Lo suka sama gue?"

Belinda melebarkan matanya, ia mengalihkan pandangannya untuk menghindari tatapan dalam milik Altair.

"Bel, jawab gue!"

"Buat apa?" tanya balik Belinda.

"Buat ngasih tau kalau gue nggak sebaik yang lo liat," jawab Altair yang membuat Belinda sakit hati. Apa Altair masih mengira bahwa dirinya adalah orang yang paling bersalah atas kepergian Sabrina?

"Lo suka sama Nara?"

Altair tidak menjawab. Belinda pikir diamnya Altair adalah iya. Sayangnya, cowok itu menggeleng yang entah mengapa membuat Belinda bernapas lega.

"Gue nggak pernah suka sama Nara." Altair menjawab dengan pandangan lurus ke arah lapangan futsal. "Gue cuma tertarik karena dia sedikit ngingetin gue sama Sabrina. Dan gue semakin pengen ngelindungi dia waktu gue tahu, dia jadi incaran Daniel."

"Tapi, Nara suka sama lo."

"Oh, ya?" jawab Altair tak sedikitpun merasa terkejut mendengar fakta itu. Belinda mengangguk ragu. "Kalau lo sendiri?"

"Gue?"

"Lo belum jawab pertanyaan gue," desak Altair.

Belinda tersenyum tipis. Namun, tidak bisa dibohongi jika rautnya kecewa.

"Tanpa gue jawab, sepertinya lo tahu apa jawabannya. Gue tau, selama ini lo juga tau cuma lo lebih milih diem, kan?" Belinda tersenyum kecut. Ia bangkit, masih dengan mata menatap Altair dalam penuh kesedihan. "Sorry, Ta. Gue suka sama lo, bahkan saat status lo masih pacar sahabat gue sendiri."

Belinda menghela nafasnya panjang, lantas berlari keluar gedung olahraga. Altair mengalihkan pandangannya dari punggung Belinda yang menghilang. Ia menunduk. Dadanya tiba-tiba merasa sesak. Tangannya gemetar. Altair menangis diam. Bukan terisak, hanya saja air matanya tak mau berhenti. Altair cukup lelah menahan beban yang selama ini ia pikul.

Mencintai Sabrina yang akhirnya malah membuat gadis itu terluka. Menciptakan rasa trauma serta kesadaran diri sendiri pada Altair. Bahwa dia hanyalah lelaki pembawa luka yang tidak seharusnya dicintai dan mencintai.

Ia takut, kalau ia mengikuti egonya untuk mencoba mencintai Belinda. Bukannya memberi kebahagiaan, Altair malah akan memberi luka.

Altair takut, melukai seseorang, lagi. Untuk yang kedua kalinya. Cukup Sabrina yang menjadi penyesalan serta rasa bersalah Altair.

Jangan Belinda, jangan Nara. Atau siapapun.

Altair lebih baik menyendiri. Daripada harus menabur luka untuk orang lain.

Percayalah, Altair akan sangat merasa bersalah untuk hal itu.

TBC

HeartbeatNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ