Chapter 30

1.7K 84 1
                                    

Jangan lupa vote dan komen!

***

Semilir angin membawa harum bunga kamboja menguar begitu pekat mendominasi tempat yang saat ini Daniel pijaki. Daniel terdiam memandang dengan tatapan kosong tepat pada salah satu gundukan tanah tak jauh dari tempatnya berdiri. Memandang sejenak karangan bunga yang dibawanya, lantas Daniel pun mendekat dan duduk di sana.

Daniel tersenyum sendu memandang nama yang terukir di nisan, lalu menoleh pada taburan bunga yang masih terlihat segar. Daniel tebak, dalam sehari ini pasti sudah ada yang berkunjung ke tempat ini. Ia mengelus batu nisan itu, memejamkan mata sejenak mengingat-ingat kembali kenangan beberapa tahun lalu. Di rasa cukup puas, Daniel membuka mata dengan pikiran berkecamuk.

"Hari ini, tepat dua tahun lo ninggalin gue." Daniel mulai membuka suara, meletakkan karangan bunga yang ia bawa di sebelah nisan marmer itu dengan hati-hati. Tatapannya lekat, terlihat jelas penuh kerinduan di sana.

"Waktu cepet banget, ya? Kayaknya baru aja kemarin lo ngajakin gue beli es krim stroberi sambil dengerin lo cerita." Daniel menerawang, seraya memandang langit hari ini yang cukup cerah.

"Kita nyanyi-nyanyi happy di rooftop."

"Lo diemin gue gara-gara berantem sama Altair." Daniel menghela nafas untuk kalimat yang ia utarakan satu ini. "Gue lakuin itu karena dia udah bikin lo nangis."

"Semuanya kerasa seperti baru kemarin. Termasuk saat lo ninggalin gue buat selama-lamanya." Daniel beralih, memandang gundukan tanah itu dengan tatapan kosong. Ingatannya kembali pada saat pertama kali ia mendapat kabar mengenai kepergian Sabrina. Ia hanya bisa terdiam kaku mencerna baik-baik kabar itu. Awalnya ia menyangkal, menolak kabar itu dengan tegas. Namun, kenyataan tetaplah kenyataan. Daniel melihat keluarga Sabrina yang berkumpul di rumah sederhana milik gadis itu---mengingat Sabrina hidup sendiri di kota ini. Saat itu, Daniel tidak menangis. Berbeda dengan Altair yang sempat meneteskan air matanya, Daniel seolah kehilangan sebagian jiwanya. Ia bernapas, membuka mata, dan menapak tanah. Tetapi lelaki itu diam dengan pandangan kosong namun syarat akan kehilangan.

"Sabrina gue kangen," ucap Daniel dengan suara paraunya. Ia menunduk dalam. "Lo yang sering jadi penasehat saat gue lagi ada masalah kayak gini."

"Meski nasehat lo selalu nyuruh gue buat nurut apa kata orang tua, tapi gue kangen itu." Daniel tersenyum samar, mengusap lagi nisan itu untuk yang terakhir kali sebelum ia pergi.

"Sabrina---"

"Daniel?"

Daniel menoleh dan beranjak. Altair berdiri di hadapannya sambil membawa karangan bunga. Daniel menghela nafasnya pelan. Niat berpamitan menjadi urung karena kedatangan Altair. Ia menatap makam Sabrina, menggumamkan salam perpisahan sebelum setelahnya kembali menatap Altair.

"Gue pikir lo lupa," sindir Daniel.

"Gue nggak bakal lupa, Niel."

"Bagus, ini semua---"

"Stop, Niel. Gue nggak mau kita debat di sini, di depan Sabrina." Altair mengingatkannya lebih dulu. Daniel menghela nafas, merasa jika ini memang bukan waktunya untuk mencari masalah. Altair berjalan melewati Daniel, duduk, dan meletakkan karangan bunganya di samping milik Daniel. "Lo nggak mau barengan sama gue, Niel?"

"Gue udah, lo aja!" Daniel keluar dari area pemakaman. Ia menaiki motornya, tapi tidak segera mengendarai dan pergi.

Daniel bersedekap di depan dada, dengan mata menghunus tajam ke arah jalan di hadapannya. Ia sedang memikirkan nasib kedepannya. Pergi dari rumah dan menghindari masalah memang terkesan pengecut untuk seorang lelaki, apalagi Daniel yang memiliki ego tinggi. Tapi, ia juga butuh waktu untuk menenangkan diri.

HeartbeatWhere stories live. Discover now