Chapter 18

1.8K 120 2
                                    

HALOHAAA

Aku balik guysss!!!

Please dong, kalian yang aktif vote😭
aku ga maksa komen, kalau kalian emang ga mau ninggalin jejak. Tapi kalau vote kan, hanya kalian, aku, dan Tuhan yang tau😌

Yang baca lumayan banyak tapi vote chapter kemarin ga sampe tembus angka sepuluh. Sedih banget asli akutuh.

Pengen nggak up dulu sambil nunggu vote tambah sebenarnya, tapi aku juga nggak mau cerita ini kelamaan endingnya.

Ya udah, cuma ungkapin isi hati kok😺
Jangan diambil hati, karena aku cuma minta sedikit dukungan dari kalian.
Aku ga punya doi, kalau bukan kalian yang kasih semangat terus siapa?🙈

Okelah, saatnya baca chapter 18.

***

Usai turun dari taksi yang mengantarkannya pulang sekolah, Altair segera berjalan menuju rumah. Beberapa meter dari teras, Altair mendengar teriakan serta suara barang yang saling bertabrakan. Ia mendapati mobil Pajero Sport di halaman rumah. Tidak biasanya, di jam seperti ini mobil itu berada di rumah.

Suara teriakan kembali terdengar begitu menyakitkan. Perasaan Altair semakin kalut tanpa berpikir dua kali ia berlari masuk ke dalam rumah menerobos pintu besar itu dengan keras. Kedua matanya melebar, menatap nanar ibunya yang sudah meluruh di lantai dengan pecahan barang berceceran disekitarnya. Penampilan wanita itu sudah tidak karuan, air mata serta peluh keringat membanjiri wajahnya. Bibirnya terus bergetar dan sesekali terisak.

"Altair," panggil Anggita lirih dengan bibir bergetar. Kedua tangannya terbuka lebar, membutuhkan pelukan hangat sang putra yang masih diam menatap sedih kearahnya.

Tidak ada alasan untuk Altair menolak, ia berjalan menghampiri sang ibu berniat membalas serta memberi pelukan hangat untuk ibunya yang kacau. Namun, sebelum itu suara berat nan tegas menghentikan langkah Altair.

"Mama kamu sedang tidak baik, Altair! Dia bisa melukai kamu!" Peringatan papanya membuat Altair terdiam, ia menemukan sebelah tangan Anggita yang membawa pecahan guci. Altair mengabaikannya, ia tidak takut terluka, karena ia lebih takut jika mamanya melukai dirinya sendiri.
Pria itu membuang nafas saat tidak ada tanda-tanda jika Altair akan mengindahkan perintahnya. Putranya itu sudah duduk bertumpu satu kaki di depan ibunya.

"Mama." Altair mengusap air mata Anggita dengan kedua ibu jarinya, lanjut menyeka peluh menggunakan punggung tangannya. Tidak ada jawaban yang ibunya berikan, wanita itu malah kembali menangis dan memeluk Altair erat.

"Jangan tinggalin Mama!" Altair tersentak mendengar kalimat yang sudah lama tidak ia dengarkan. Altair tak pernah sedikitpun berpikiran untuk meninggalkan ibunya. Dan ibunya hanya akan mengucapkan kalimat ini jika ada sesuatu yang mempengaruhinya. Seketika pandangan Altair langsung tertuju pada Andre---papanya yang sejak tadi hanya diam tak bersuara.
Mendapati tatapan menelisik Altair, Andre hanya bisa membuang wajah dan menghela nafas.

Altair melepaskan pelukan ibunya yang terlalu erat, menenangkan dan beberapa kali mengucapkan janji dengan tulus bahwa dirinya tidak akan pernah meninggalkan sang mama. Setelah terlihat tenang, Altair mencoba melepaskan genggaman pecahan guci dari tangan Anggita. Lantas mengajak Anggita untuk beristirahat di kamar walau awalnya sempat ditolak.

Altair kembali turun setelah mengantar Anggita ke kamar. Masih dengan seragam sekolah tanpa almamater, Altair menemui Andre yang duduk sembari memijat pelipis kirinya. Tanpa sapaan sopan atau basa-basi, Altair langsung mengutarakan apa yang ingin ia bahas.

HeartbeatWhere stories live. Discover now