Chapter 50

1.5K 60 0
                                    

Daniel memfokuskan matanya pada sebuah kertas lusuh yang penuh dengan coretan pena hitamnya. Sudah hampir tiga jam ia menghabiskan waktunya untuk berkutat bersama kertas dan pena itu. Suara deras air hujan di luar bukannya menganggu, tapi malah semakin mempermudah otaknya dalam menciptakan sebuah lirik.

Sesekali ketika merasa menemukan lirik yang pas, ia tersenyum lebar dan segera memetik senar gitarnya seraya bergumam. Tak ayal, beberapa kali terdengar juga suara decakan bersumber dari bibir merah kehitaman akibat nikotin milik Daniel.

Kembali, ia menulis lirik di kertas itu. Mencoba dengan petikan gitarnya. Setiap ada yang kurang pas, ia mencoretnya dan berpikir lagi. Kegiatan itu terus berulang, namun tak ada sedikitpun raut jenuh yang tergambar di wajah Daniel.

Sampai sebuah suara pintu mengalihkan pandangan Daniel sejenak. Daniel tidak membuka suara, tapi yang pasti tukikan di alisnya sudah mewakili jika ia bertanya apa yang cowok itu akan lakukan di sini.

"Lo udah lama di sini?"

"Seperti yang lo liat," jawab Daniel acuh dan kembali fokus pada gitar. Ia pikir, Ares tidak cukup buta untuk melihat dirinya yang masih memakai seragam. Walaupun hanya tersisa kemeja dan celananya.

"Emang ga mau pulang apa gimana?" tanya Ares lagi. Ia membuka bungkusan yang ia bawa. Ketika Daniel meliriknya, ternyata sebungkus kotak karton berisi martabak manis.

"Gue iseng pengen bikin lagu. Kalau dipikir-pikir, udah lama juga gue nggak bikin," jawab Daniel sambil mencomot martabak di hadapan Ares. "Lo sendiri?"

"Lagi males, makanya gue ke sini. Eh, nggak taunya ada lo." Ares merebahkan tubuhnya dengan posisi kaki mengungkung Daniel yang bersandar di ujung sofa.

"Lo buat lagu tentang apa?" tanya Ares lagi setelah beberapa menit hanya keheningan yang menyapa mereka. Di luar, hujan bukannya berhenti, tapi malah makin menjadi.

Daniel menarik napas panjang. "Kepo," jawabannya yang menimbulkan decakan Ares.

"Gue rasa, akhir-akhir ini kita jadi jarang kumpul, Res."

"Kita siapa? Kalau kita yang lo maksud itu gue sama lo, gue jelas ogah. Bukannya dikira kumpul kebo, malah dikira main belok nanti."

"Ck, kita itu, gue, lo, Theo, sama Erick."

"Oh," jawab Ares singkat. Tapi tidak ada jawaban yang pasti atas pertanyaan Daniel. Cowok itu malah menutup kedua matanya dengan lengan dan memejamkan matanya.

Daniel berdecak, tapi cowok itu tidak ambil pusing. Ia kembali berkutat dengan kertas, pena, dan gitarnya.

"Niel," panggil Ares.

"Hm."

"Dingin-dingin gini enaknya kelonan," celetuk Ares ngawur.

Daniel berdecak. "Ya kali lo ngajak kelonan gue."

"Nggak papa kali, Niel," jawab Ares melingkarkan kedua kakinya di leher Daniel yang sukses membuat Daniel megap-megap karena tercekik. Sementara Ares sudah tertawa terpingkal-pingkal tanpa melepas siksaannya pada Daniel.

"Enak nggak bau kaki gue?"

"Tekor lo, bangsat!" maki Daniel yang makin membuat Ares kesenangan. Kesempatan itu Ares gunakan untuk mencuri kertas yang berada di meja samping Daniel. Sedangkan Daniel sudah tidak bisa apa-apa. Ingin merebut, tapi cekikan kaki Ares malah semakin kuat.

Dasar teman laknat. Ingatkan Daniel agar setelah ini melapor ke polisi atas tindak kejahatan yang dilakukan oleh Ares yang sialnya sahabatnya ini. Itupun kalau Daniel masih hidup, tidak mati di kaki Ares.

Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, Ares akhirnya melepaskan cekikan kakinya. Tapi tidak membuat kakinya pergi dari pangkuan dan pundak Daniel.

Daniel yang sedang mengusap leher dan meregangkan rahangnya melirik kesal pada Ares yang malah tersenyum membaca kertas berisi mentahan lirik yang ia buat.

HeartbeatWhere stories live. Discover now