Chapter 14

2.2K 114 4
                                    

Hallo👋🏻👋🏻👋🏻👋🏻

Akhirnya bisa up juga
abis bolak-balik benerin gegara eror:(

Sedikit curhat, hehehe.
Niatnya mau up rabu or kamis.
tapi, selasa, wp aku eror gabisa dibuka.
rabu nya mau lanjut nulis malah ilang
800 kata
jadinya sih nulis ulang, tapi gapapa.

Fyi, ini 3000+ kata.
Semoga kalian suka, kalau nemu kesalahan tandain aja, oke?:)

Oke, Happy reading<3

***


Altair memandang rumahnya yang malah cocok dikatakan sebagai bangunan tanpa penghuni. Rumah besar itu seperti tidak ada kehidupan, bahkan pekarangan rumah penuh dengan daun kering berhamburan karena tak terawat.
Altair melangkah masuk ke dalam rumah setelah membuka pintu kayu, tidak ada sambutan yang menanyakan bagaimana sekolah Altair hari ini. Cowok itupun tidak banyak berharap yang malah membuatnya semakin menyalahkan hidupnya.

Altair memasuki kamarnya, meletakkan tas lalu melepas almamater dan menggantung di gantungan sisi meja belajar. Tidak butuh waktu banyak, Altair sudah keluar kamar dengan setelan santai rumahan. Di undakan tangga terakhir, Altair menampilkan seulas senyum tipisnya.

"Ma?" panggil Altair pada seorang wanita cantik yang sibuk dengan aktifitas merajut. Altair duduk di sofa seberang, mengamati ibunya yang begitu fokus, bahkan sapaan tadi hanya terbalas dengan senyum sekilas. Di usia empat puluh tahunan, paras cantik ibunya bagi Altair tidak pernah hilang. Tak diragukan memang, sebab ibunya pernah menjajah dunia model sebelum akhirnya memilih berhenti karena menikah. "Mama tadi udah makan?"

Anggita mendongak menatap putra semata wayangnya dengan senyum lebar. Altair menatap curiga. "Mama belum makan?"

"Ck, harusnya Mama yang tanya." Anggita berdecak pelan masih terus menatap Altair dengan pandangan lembutnya. "Tadi masak makanan kesukaan kamu. Terus makannya nunggu kamu."

"Oke, Altair udah pulang. Ayo, makan." Tapi ajakan itu mendapat gelengan pelan dari sang mama. "Ma---"

"Stss ... Mama selesain ini dulu. Kalau kamu mau makan ayo Mama siapin." Bukan hal itu yang Altair mau, ia menggeleng. Anggita mencebik. "Kamu mirip anak kecil. Ya udah, ayo makan."

Setelah perdebatan yang lumayan panjang, akhirnya ibu dan anak itu berjalan bersama menuju meja makan. Anggita tak melepas lengkungan bibirnya sembari menyiapkan makanan untuk Altair. Kemudian, mereka berdua makan dengan tenang.
Suasana seperti ini memang tidak terjadi sekali, dua kali. Meja makan yang cukup besar hanya diisi oleh dua orang. Jika saja sang kepala rumah tangga rumah ini ikut makan, maka hanya saat sarapan saja. Itupun terhitung sebulan tidak lebih dari lima kali.

Altair mendongak saat mendengar denting alat makan ibunya, saat ia mendongak, ia mendapati ibunya yang tengah mengelap bibirnya dengan tisu, lalu tersenyum kecil kearah Altair.

"Mama kepikiran buat buka toko roti, deh." Altair memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya, lalu menegak setengah gelas air dan menatap Anggita yang juga tengah menatapnya dengan berpangku tangan. "Gimana menurut, kamu?"

"Kenapa harus buka toko roti?" Bukannya memberi jawaban, Altair malah berbalik memberi pertanyaan. Anggita yang merasa ada nada sedikit tidak setuju dari putranya menghembuskan nafas pelan.

"Mama nggak ada kerjaan di rumah, nggak ada temen juga," ucap ibunya itu membuat Altair terdiam. "Oh iya, Mama juga punya ide buat tanam bunga di pekarangan depan. Masa keliatan serem," lanjutnya bergidik ngeri.

HeartbeatWhere stories live. Discover now