Chapter 28

1.5K 91 2
                                    

Klik bintang dulu yuk, sebelum lanjut.

***

Ruang kelas itu seharusnya sudah sepi sejak lima belas menit yang lalu. Namun, untuk saat ini, dua lelaki tampan yang terkenal seantero Cakrawala itu masih duduk diam tanpa ada satupun dari mereka yang berniat membuka topik pembicaraan.

Altair yang duduk tenang di bangkunya, dan Daniel, yang duduk di depan Altair dengan posisi menyamping menghadap jendela luar. Altair memaklumi itu, Daniel mungkin terlalu muak untuk berbicara muka antar muka. Ini, masih lebih baik daripada Daniel memunggunginya.

"Waktu gue terbuang percuma buat nunggu orang paling bodoh yang ngebisu kayak lo, Altair." Daniel menoleh, melirik sinis tepat ke arah Altair yang hanya diam saja sejak kedatangan Daniel di depannya. Jangan berharap lebih, Daniel terpaksa menyetujui ajakan Altair untuk memberi waktu bicara seperti ini. Selebihnya, Daniel hanya ingin tahu sampai mana Altair membela dirinya, dan akhir dari pembicaraan ini, Daniel akan kembali menghina kebodohan Altair.

Jujur, Altair juga bingung ingin memulai dari mana pembicaraan ini. Ia melakukan ini semua hanya demi Nara. Altair tidak ingin terus-terusan melihat Nara terjebak dalam permainan Daniel sebagai bentuk pelampiasan Daniel karena kisah masa lalu.

"Gue nggak pernah suka sama Nara." Pernyataan pertama itu berhasil membuat raut wajah Daniel sedikit tidak normal. Terlihat terkejut, namun cowok itu dengan pintar menyembunyikan ekspresinya.

"Yakin?"

"Terserah lo mau percaya apa, nggak?!"

"Gue nggak buta, Altair Rajendra. Gue tau lo ada maksud. Lo inget? Kejadian di depan toilet sebelum gue ceburin Nara? Lo jadi pahlawan kesiangan!" jelas Daniel tajam mengingatkan kejadian yang menurut Daniel bisa jadi bukti untuk menyangkal pernyataan Altair barusan.

Tidak pernah suka? Cih, Daniel tak percaya.

"Oh, dan jangan lupa. Lo masih juga deketin Nara setelah gue peringatin lo?! Lo suka, kan?" tuduh Daniel yang mengira sudah berhasil menyudutkan Altair, tampak dari raut wajah Altair yang langsung kaget. Namun, raut wajah itu hanya berselang beberapa detik, karena setelahnya Altair mendengus dan tersenyum sinis.

"Gue malah yakin kalau lo yang sebenernya suka sama Nara. Lo larang dia deket sama gue, karena lo nggak mau kejadian Sabrina yang malah suka sama gue terulang---"

"Diam lo, sialan!" sentak Daniel menggebrak meja Altair. Nafas Daniel memburu. Nama itu lagi. Gampang sekali Altair menyebut nama itu. "Lo cuma buang waktu gue, bangsat!"

Daniel berdiri, menatap sengit ke arah Altair yang memasang wajah tenang. Niat untuk menghina Altair lenyap, ia seperti malah tersudut di sini. Sebelum ia melangkah pergi, ucapan Altair berhasil menahan langkah kakinya.

"Gue bener-bener nggak punya rasa sama Nara. Nggak cuma Nara, bahkan sama perempuan lain aja gue ragu, Niel." Altair berucap lirih. Daniel membalikkan tubuhnya, melihat Altair yang menatap kosong meja dengan kedua tangan yang bersedekap di depan dada. "Gue rasa ... kepergian Sabrina udah cukup jadi pelajaran buat gue."

Altair menatap Daniel, namun Daniel langsung melengos enggan menatap Altair.

"Kalau lo terpukul atas perginya Sabrina, gue jauh lebih terpukul, Niel. Dia cewek gue. Gue merasa bersalah karena nggak pernah ada buat dia. Lo juga benci sama gue."

"Itu emang pantas lo dapetin!" sarkas Daniel. Matanya menatap tajam mata sayu Altair yang memancarkan kesedihan. Persetan dengan tatapan itu, ingatan itu hanya membuat Daniel membenci Altair.

"Lo!" Daniel menunjuk Altair dengan jari telunjuknya. "Cowok bego! Kalau lo emang nggak bisa ada buat dia, kenapa nggak lo lepas, aja, sialan?!"

Daniel terkekeh sinis.
"Dia juga bodoh, karena dia masih aja cinta sama cowok egois kayak lo."

HeartbeatDonde viven las historias. Descúbrelo ahora