Chapter 8

3.4K 163 16
                                    

Hallo, ada yang nunggu
Heartbeat update?

Aku tahu ini lama, tapi aku mencoba fokus dulu buat ending part di lapak Arjuna xixixi.

Dan yeay! Aku udah bisa fokus ke heartbeat😂

Maaf buat kalian nungguin, tapi ini part hampir 3000 kata wih✊🏻

Oh, jangan lupa vote komen ya!
Biar makin semangat gitu.
Oke happy reading guys!

***

Gelapnya langit malam sedikitpun tidak mengurangi suasana ramainya ibukota. Dilihat dari rooftop gedung yang saat ini cowok itu pijaki, kendaraan sudah seperti semut yang berjalan runtut mengeluarkan cahaya. Udara dingin malam menerpa kulit wajahnya, namun sedikitpun ia tak terusik dan tetap lebih memilih untuk melanjutkan kegiatan memandangi jalanan kota.

Altair---cowok dengan hoodie army itu duduk memeluk lututnya. Dengan tudung yang ia kenakan untuk menutupi kepala, Altair memilih menghabiskan malamnya dengan menikmati sendiri pesona ibukota dari atas rooftop yang memang sudah biasa ia datangi.

Keadaan tenang jauh dari keramaian adalah tempat paling nyaman bagi Altair. Karakter Altair memang selalu merasa risih dengan keramaian, mungkin itulah yang membuat ia dianggap aneh oleh anak Cakrawala. Keramaian membuat jiwa tenang Altair terusik, dan pada akhirnya Altair akan kelepasan untuk menatap tidak suka orang yang berbuat keramaian.

Kepalanya menengadah saat menerima tetesan air dari langit, sisa hujan deras yang tadi sore mengguyur bumi. Ia mendesah, lalu beralih meluruskan kaki dengan kedua tangan kebelakang menyangga tubuh. Langit malam ini sepi, tidak ada butiran bersinar sebagai hiasan dan juga tidak ada satelit bumi yang menemani.

Seperti hidupnya.

Matanya terpejam, menikmati kembali semilir angin malam yang menerpa wajah tampannya. Altair tahu, jika angin malam tidak pernah baik untuk kesehatan. Ibunya selalu berkata seperti itu.

Dering ponsel berbunyi, tidak ada alasan untuk Altair menolak. Kontaknya hanya dimiliki oleh orang terdekat, bahkan teman satu kelasnya tidak semua yang memiliki kontak Altair. Lagi-lagi karena rasa takut jika harus menyimpan nomor cowok aneh seperti Altair, lain dengan Belinda, hanya cewek itu yang menyimpan kontak Altair.

Nama orang yang telah berhasil berjuang membantunya melihat dunia terpampang di layar handphone; ibunya. Altair segera menekan tombol bewarna hijau lalu mendekatkannya pada telinga.

"Altair disini, Ma."

Terdengar suara penuh kekhawatiran disana. Altair tersenyum kaku, sedikit lega jika ibunya hanya menelpon untuk memintanya segera pulang.

"Iya, Altair pulang. Mama tunggu, ya?"

Setelah mendapat jawaban setuju, Altair segera mematikan sambungan telpon dan beranjak untuk turun dari rooftop. Altair menaiki taksi untuk cepat sampai di rumah. Beberapa menit kemudian, taksi berhenti di sebuah rumah megah yang ada di kompleks perumahan elit. Altair membayar ongkos taksinya, lalu memasuki rumah bewarna putih itu.

"Kamu kemana aja, sayang?" Kedatangan Altair disambut oleh pelukan hangat dari sang ibu. Altair tersenyum samar, lantas membalas pelukan Anggita---ibunya.

"Kamu udah makan?" Anggita bertanya setelah melepas pelukannya pada anak sematawayangnya. Altair membalas dengan gelengan. "Mama udah masak banyak buat kamu. Makan sama Mama, ya?"

HeartbeatWo Geschichten leben. Entdecke jetzt