51. Sidang Perceraian

662 70 12
                                    

Haifa berjalan keluar dari dalam ruang sidangnya di pengadilan agama. Langkahnya gontai, bahkan disaat seperti ini pun dia masih sendirian, tak ada teman ataupun saudara disampingnya. Hari ini pada sidang perdana perceraiannya saja, pria itu tak bisa datang, hanya mengirimkan kuasa hukumnya untuk mengurusi semua keperluannya di tempat ini.

Sementara Haifa, dia datang sendiri. Tanpa di dampingi kuasa hukum sama sekali. Mungkin juga pria itu sengaja menggugatnya terlebih dahulu, agar Haifa tak perlu kesulitan mencari uang untuk biaya perceraian mereka.

Pada sidang pertama perceraian mereka, hakim hanya menasihatinya untuk berdamai dengan suaminya, hakim bahkan memintanya untuk berpikir matang-matang dalam keputusan mereka berdua yang memilih bercerai disaat pernikahan mereka bahkan baru berjalan beberapa bulan, terlalu dini jika harus berakhir pada perceraian. Ikatan suci yang selama ini terjalin di antara mereka akan hancur begitu saja, apa yang mereka cita-citakan akan lenyap tak bersisa. Hakim bahkan menasihatinya jika perceraian bukanlah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah mereka. Ikatan pernikahan adalah ikatan suci yang sangat disayangkan jika berakhir pada sebuah perceraian.

'Perceraian adalah hal yang sangat dibenci Allah SWT. Oleh sebab itu kami harap ibu sebagai tergugat bisa membicarakannya bersama suami dan memikirkan kembali keputusan kalian berdua untuk berpisah'

Kata itu terus terngiang-ngiang dikepalanya, haruskah Haifa mendiskusikannya? Pria itu bahkan tidak mau menghadiri sidang perceraian mereka, untuk apa Haifa harus menemuinya dan meminta untuk berdamai? Jika dia kembali sekalipun, Haifa tak yakin jika suaminya mau kembali hidup bersamanya. Haifa tak yakin jika pria itu tak akan lagi mengulangi kesalahan yang sama berulang kali.

Hakim memberikan waktu satu bulan untuk keduanya melakukan mediasi, berpikir ulang akan keputusan mereka, dan juga memikirkan bagaimana nasib kedua keluarga nantinya. Mengingat belum ada anak diantara mereka berdua, Haifa jadi merindukan Aira. Anak itu bahkan sudah mulai terbuka kepadanya, tapi saat ini mereka tak akan memiliki ikatan apa-apa lagi setelah semua perkara ini selesai.

Keluar dari pelataran pengadilan agama, Haifa berdiri disisi jalan, menunggu angkutan umum untuk membawanya pulang ke rumah. Yang ada dipikirannya saat ini Haifa hanya ingin pulang, melanjutkan kehidupannya kembali seperti orang normal lainnya diluar sana. Nyatanya hal semacam ini sedikit banyaknya berhasil menguras tenaga dan juga pikirannya, Haifa bahkan sepertinya perlu istirahat setelah hari yang terasa melelahkan untuknya.

Sesampainya di rumah, Haifa mendapati bapaknya yang sedang tertidur di ruang tamu. Pria paruh baya terlihat pulas dalam tidurnya dari dengkur halus yang dapat Haifa dengar. Haifa berlalu, berjalan masuk menuju kamarmya untuk meletakan barang bawaannya dan juga berganti pakaian dengan yang lebih nyaman. Setelahnya Haifa berjalan ke arah dapur, tempat yang lebih sering dia datangi akhir-akhir ini.

Haifa membuka tudung saji, menemukan makanan yang dia buatkan untuk bapaknya tadi pagi masih belum tersentuh. Padahal Haifa sudah berpesan kepada bapaknya untuk makan dan meminum obatnya tepat waktu. Baru saja Haifa berniat untuk membangunkan bapaknya, pria paruh baya itu justru sudah berdiri di dekatnya. "Bapak kenapa belum makan?"

"Bapak lupa, bapak ketiduran saat menunggu kamu pulang tadi" bapaknya menjawab seraya memposisikan dirinya duduk di meja makan. Membiarkan anaknya menyiapkan keperluan makannya.

Haifa menghela nafas, dia berbalik menuju rak piring, mengambilkan nasi hangat dari dalam ricecooker untuk bapaknya, lalu meletakkan piring yang sudah dia isi nasi di depan bapaknya. "Untuk apa menunggu Haifa pulang? Haifa kan tadi sudah berpesan supaya bapak makan dan minum obat. Bagaimana bapak mau sembuh jika meminum obatnya pun bapak susah" Haifa berbicara dengan nada kesal.

"Lagi pula bapak sudah tua, meminum obat ataupun tidak, tak ada bedanya untuk bapak. Bapak hanya khawatir saja dengan kamu, setelah bapak tiada nanti siapa yang akan menjaga kamu disini"

Mendengar jawaban bapaknya yang seperti itu Haifa menatap ke arah bapaknya tak suka "bapak kenapa harus berbicara seperti itu?, bapak pasti akan sembuh kalau bapak sendiri yakin bisa untuk sembuh."

Bapaknya itu tak langsung menjawab, memilih menyendokan nasi dari piring di depannya ke dalam mulut, dan mengunyahnya perlahan. Setelah beberapa saat tak ada obrolan diantara mereka, bapaknya kembali bertanya, pertanyaan yang memang sedari awal ingin pria itu tanyajan "Bagaimana dengan sidang perdana kalian tadi?"

Haifa lebih memilih bungkam, berharap jika bapaknya bisa mengerti jika dirinya sedang tak ingin membicarakan hal itu. Lagi pula Haifa sudah harus belajar untuk melupakannya, rasanya tak etis jika dirinya terus-terusan memikirkan laki-laki yang sebentar lagi tak punya hubungan apa-apa dengannya

"Kalian berdua tidak saling bicara?" bukannya diam, bapaknya justru terkesan penasaran, lelaki itu masih bertanya sembari memakan makanan dihadapannya.

"Dia tidak datang saat persidangan pak, hanya mengirimkan kuasa hukumnya untuk menyelesaikan perceraian kita berdua" Haifa diam sejenak, ada sedikit rasa nyeri yang tiba-tiba menyelinap mencubit hatinya " sudahlah, jangan dipikirkan lagi, sepertinya pernikahan Haifa dan pria itu memang sudah tidak bisa diselamatkan, dia bahkan tak sudi untuk bertemu Haifa di persidangan."

"Bapak jadi ragu, suami kamu sepertinya tidak serius untuk menceraikan kamu. Harusnya jika dia benar-benar serius ingin bercerai pasti dia akan datang sendiri, tanpa mewakilkannya kepada siapapun itu. Kamu tidak curiga memangnya?"

"Apanya yang perlu di curigai pak, jelas-jelas dia yang menggugat cerai talak kepengadilan. bapak saja yang tidak tahu bagaimana hubungan Haifa selama ini. Sudahlah, jangan dipikirkan. Kita lanjutkan saja hidup kita dan tak perlu melihat lagi kebelakang." Haifa berlalu, berjalan menuju rak di didapurnya, berniat memeriksa bahan apa saja yang perlu dia beli untuk membuat keripik pesanan tetangganya besok.

"Tapi bapak lihat, sepertinya nak kevin benar-benar mencintai kamu. Terlepas dari sebab kalian menikah dahulu, bapak lihat sepertinya dia tulus dalam pernikahan kalian berdua" bapaknya kembali memeberikan opini, merasa tak puas dengan jawaban yang Haifa berikan untuknya.

Haifa tak menjawab lagi, dia membiarkan bapaknya berbicara sendirian, lagi pula yang menjalani pernikahan ini adalah dia dan pria itu, mereka tak pernah tahu bagaimana hubungannya dengan suaminya selama ini.

Haifa bukannya egois, wanita mana yang kuat bertahan bersama suami yang masih mencintai wanita lain? Melihat suaminya berada didalam kamar mereka bersama wanita lain yang notabene nya pernah pria itu cintai tak bisa membuat Haifa berpikiran jernih, otaknya selalu saja membayangkan apa yang sudah suaminya dan wanita itu lakukan saat dirinya tak ada, oleh sebab itu Haifa memilih mundur, dia tak kuasa jika harus hidup seperti itu selamanya.
Haifa juga sudah memikirkannya matang-matang. Dari pada membiarkan suaminya terus memupuk dosa dengan wanita lain, Haifa lebih memilih membiarkan  mereka bisa kembali menjadi keluarga yang utuh dan harmonis. Meski untuk mendapatkan itu semua, Haifa harus rela kehilangan suaminya dan semua harapannya pada pernikahan itu.

Hargai saya dengan cara bantu vote ya..

See you..

Baja NagaraWhere stories live. Discover now