08. saingan tak sepadan

1.1K 116 2
                                    

Haifa duduk di tepi kolam bersama ibu mertuanya, memperhatikan sang suami yang sedang berenang bersama Aira. Mereka berdua terlihat bahagia, Aira pun terlihat nyaman tanpa dirinya, anak itu lebih banyak tersenyum. Haifa heran, apa mungkin perceraian kedua orang tuanya membuat seorang Aira yang belum genap lima tahun itu merasa trauma. Apakah anak itu sudah bisa memahami jika ayah dan ibunya memilih untuk hidup terpisah?.

Dalam hati Haifa merasa beruntung, beruntung karena dia mendapatkan masa kecil yang indah, orang tua yang sayang padanya dan juga kehadiran mereka berdua dalam setiap moment pertamanya, meski mereka tak sekaya keluarga ini, tapi keluarganya dulu memiliki kasih sayang berlebih untuknya. Hingga saat ibunya meninggal ayahnya mulai berubah, mengacuhkannya yang pada saat itu baru masuk Sekolah Menengah Pertama. Haifa sendiri tak tahu apa yang membuat ayahnya seperti itu.

Lelaki itu tak mengasarinya, tapi mengacuhkannya. Hingga saat lelaki itu membawa seorang wanita pulang, dan mengatakan jika dia adalah pengganti ibunya. Haifa mulai sadar, jika dia sudah tak diinginkan lagi. Haifa tak benci ayahnya, dia hanya menyayangkan mengapa ayahnya berubah seperti itu?

Haifa menoleh kesamping saat merasakan sentuhan di bahunya, mentap sang ibu mertua yang melihat khawatir kepadanya "ada apa mama?"

"Apa yang kamu fikirkan sayang?"

Haifa menggeleng, kembali memusatkan tatapannya kepada anak tirinya "Haifa rasa Aira kurang nyaman saat ada Haifa disampingnya. Dia cenderung menjadi lebih pendiam saat Haifa mencoba bergabung dengan mereka ma"

"Dia memang seperti itu sayang, dia cenderung tertutup kepada orang yang baru dikenalnya. kamu yang sabar ya, dekati dia pelan-pelan, buat dia merasa nyaman dengan kehadiran kamu disisinya" wanita paruh baya itu memberikan senyuman kepada Haifa, meraih tangan menantunya itu dan menggenggamnya erat "mama harap kamu mau menyayanginya meski dia tidak terlahir dari rahim kamu, jangan bedakan dia saat kamu sudah punya anak sendiri nantinya"

Haifa mengangguk seraya tersenyum canggung, dia tak berani menatap wanita disampingnya. Apa yang akan wanita itu pikirkan saat tahu dia selalu menolak ajakan anaknya.

"Mama, apa mama lihat Haifa pantas untuk mas kevin?"

"Kenapa berpikir seperti itu? Allah yang menyatukan kalian dalam pernikahan, kenapa harus mencari alasan yang hanya akan membuat kamu ragu dengan hubungan kalian?"

"Haifa hanya merasa bersalah, Mas Kevin terlalu baik mau menikahi Haifa demi menyelamatkan harga diri dan masa depan Haifa" Haifa menunduk, entah kenapa dia merasa ingin menangis, tapi tak ingin terlihat lemah di depan mertuanya.

"Haifa, ini semua adalah takdir. Jodoh, maut, rezeki itu allah yang atur kita hanya bisa berikhtiar dan berdoa. Jangan menjadi orang yang kufur karena tidak bisa menerima ketetapan dari-Nya"

Haifa tersenyum, menatap ibu mertuanya "terima kasih mama, sudah mau menerima Haifa sebagai menantu tanpa syarat"

"Sama-sama sayang, mama justru beruntung punya menantu seperti kamu" wanita paruh baya itu merangkul menantunya seraya menepuk bahu wanita itu pelan "Sudah, suruh Kevin bawa Aira masuk, sebentar lagi sudah mau ashar. Sebagai laki-laki dia wajib kan sholat di Masjid?"

Haifa mengangguk, membawa handuk di tangannya dan bangkit berjalan mendekat ke arah suami dan anak tirinya "Mas! sudah mau ashar. Naik"

Lelaki itu mendekat dan keluar dari kolam, sementara Haifa meraih Aira, meminta sang suami untuk membersihkan badan dan membiarkannya memandikan Aira.

Lelaki itu menurut, mengambil handuk dan pergi dari sana. Sementara Haifa mengeringkan  tubuh sang anak, menatap anak itu yang kembali terdiam saat bersamanya "gimana sayang? Senang berenang sama papa?"

Baja NagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang