04. dijemput sang pangeran

1.5K 147 0
                                    

Haifa berjalan keluar dari dapur, membawakan segelas teh hangat untuk pria yang datang menjemputnya. Melihat pria itu perasaan canggungnya kembali muncul, dia kira lelaki itu tak akan datang menjemputnya, dia kira laki-laki itu tak pernah serius dengannya.

Haifa tersenyum sekilas, menatap lelaki itu yang saat ini juga memperhatikan gerak geriknya "silahkan" cicitnya pelan, meletakkan dua gelas teh hangat di depan sang suami dan juga ayahnya

pria itu tersenyum, lalu mengambil teh diatas meja dan meminumnya pelan. "Terima kasih" setalah meminum teh buatannya pelan pria itu kembali meletakkan gelasnya.

Haifa hanya mengangguk, dia tak tahu harus apa. Bagaimanakah dia harus bersikap di depan lelaki ini? Meski dia suaminya tapi Haifa merasa hubungan mereka layaknya orang asing. Yang tak pernah saling mengenal tapi dipaksakan berada di garis takdir yang sama. Haifa berniat pergi  disaat lelaki itu justru memanggilnya dan memintanya untuk ikut duduk  di samping pria itu bersama ayahnya.

Melihat sang istri yang terlihat canggung Kevin memerintahkan wanita itu untuk duduk disisinya  "istri saya bagaimana kabarnya? Maaf karna baru bisa datang sekarang, banyak kerjaan di jakarta"

"Haifa baik mas" jawab wanita itu dengan suara gemetaran. Panggilan mas yang dia sematkan untuk lelaki itu rasanya tak terlalu berlebihan. Lagi pula jika dia selalu memanggil pria itu dengan panggilan bapak akan terlihat aneh hubungan mereka. Meski nyatanya memang seperti itu.

"Syukurlah, oh iya, mas datang kesini untuk menjemput kamu. Mas juga sudah minta izin sama bapak untuk membawa kamu ke jakarta kamu tidak keberatan kan tinggal di jakarta?" Pria itu bertanya seraya  menatap istrinya

"Tapi.." belum sempat Haifa  berbicara, ibu tirinya itu menyahut saat baru datang dari luar

"Tempat seorang istri itu disisi suaminya, kamu akan berdosa jika menolak untuk tinggal bersama suami kamu" wanita paruh baya itu duduk disisi ayahnya "lagi pula suami kamu orang kaya, kamu tidak akan merasa kekurangan disana"

Haifa diam saja, merasa malu dengan perkataan ibunya. dia tak pernah memikirkan hal itu sebelumnya, dia tak pernah menginginkan harta itu, jika bisa dia memutar waktu, mungkin dia tak akan meminta bantuan kepada laki-laki yang saat ini menjadi suaminya, dia mungkin akan memilih untuk berlari pulang meski belum tentu selamat.

mengerti perasaan istrinya, kevin berdehem untuk mencairkan suasana. "Bapak maaf, saya permisi ya mau ke kamar. mau numpang istirahat sebentar. Haifa ikut saya, sekalian mengemasi barang yang mau di bawa ke jakarta nanti sore"

setelahnya Haifa beranjak, mengajak sang suami ke kamarnya. memasuki kamar, Haifa mempersilahkan untuk suaminya masuk terlebih dahulu "Mas Kevin kalau memang mau istirahat, istirahat saja. maaf karena kamar Haifa kecil dan kurang nyaman"

"Memangnya kamu mau kemana? temani saya istirahat, nggak kangen ditinggal suami 10 hari?" kevin yang sudah duduk di tepi ranjang menatap istrinya intens lalu tersenyum saat melihat pipi wanita itu bersemu merah

"Apaan sih Mas! Haifa mau beresin barang-barang buat dibawa ke jakarta" dengan wajah malu wanita itu berjalan ke arah lemari, mengambil tas dari sana untuk mengemasi barang-barangnya.

"Ya sudah, jangan bawa baju banyak-banyak, nanti kita beli di jakarta saja, disana banyak yang bagus, mau yang mahal juga boleh"

Haifa menggeleng "jangan boros Mas, baju Haifa masih banyak yang bagus, masih layak untuk dipakai" Haifa menjawab suaminya ketus, merasa terhina dengan perkataan suaminya.

"ya sudah, terserah kamu, maksud Mas kan supaya tidak perlu repot. lagipula kamu istri Mas, Mas punya kewajiban memberikan kamu pakaian yang layak. Mas tidak mau di cap sebagai suami pelit, padahal Mas kan mampu untuk membelikanmu pakaian, bahkan dengan tokonya juga" lelaki itu menjawab dengan nada sedikit sombong diakhir ucapannya

Baja NagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang