49. keputusan akhir

486 73 11
                                    

Setelah kurang lebih 6 jam perjalanan akhirnya mereka berdua sampai di kampung halaman Haifa. Selama perjalanan pun keduanya diam saja, sibuk dengan isi kepalanya masing-masing, Berjam-jam di dalam mobil yang sama tanpa membicarakan apapun nyatanya bukanlah hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Haifa bahkan merasakan otot lehernya terasa kaku karena dia terus-terusan menatap keluar jendela karena tak ingin bertemu tatap dengan sang suami di sampingnya.

"Assalamualaikum, Bapak" Haifa mengetuk pintu rumahnya, dia juga menatap sekeliling melihat kondisi rumahnya yang terasa sedikit berbeda. Haifa melirik ke arah suaminya yang langsung berdiri disampingnya, Haifa hanya menggeser sedikit posisi berdirinya menunjukan jika dia tak ingin dekat-dekat dengan pria itu.

Tak sebarapa lama pintu rumahnya terbuka, memunculkan sosok bapaknya yang terlihat lebih kurus dari terakhir kali dia pergi dari tempat ini. "waalaikumussalam" bapaknya itu membuka pintu lebih lebar, lalu keluar dari dalam rumahnya dengan wajah heran. "Kalian pulang kenapa tidak bilang-bilang Bapak?"

"Haifa rindu Bapak katanya" Kevin menjawab seraya melirik Haifa yang tetap mendiamkannya. Dia lalu berjalan mendekat dan menyalimi bapak mertuanya itu "Bapak bagaimana, sehat?"

"Alhamdulillah Bapak sehat, ya sudah ayo masuk dulu, di luar panas"

Haifa memperhatikan interaksi keduanya, mengapa suaminya itu harus bersikap layaknya pria baik-baik. Apakah pria itu lupa jika sebentar lagi mereka tak punya hububgan apa-apa. jadi, tak perlu bersikap baik dan memberikan harapan pada bapaknya.

Kevin melirik ke arah istrinya yang justru diam saja "Haifa, ayo masuk" Kevin berniat meraih tas milik istrinya yang saat itu juga langsung dihalangi wanita itu. Haifa berjalan masuk meninggalkannya diluar bersama bapaknya yang terlihat kebingungan

"kalian berdua bertengkar?"

Kevin hanya tersenyum sekilas,"biasa pak, namanya juga suami istri pasti ada saja masalahnya"

"Sebagai kepala keluarga kamu harus bisa menyelesaikan masalah seperti ini. Jangan biarkan masalah sekecil apapun berlarut-larut dan justru akan menjadi bom waktu untuk pernikahan kalian."

Kevin mengangguk, lalu mengajak bapak mertuanya untuk masuk menyusul istrinya yang sudah masuk terlebih dahulu. Sedikit mengobrol seraya menanyakan kabar dengan bapaknya, Kevin undur diri untuk menyusul istrinya yang sudah masuk ke dalam kamar terlebih dahulu.

Dia sedikit bersyukur saat pintu kamar istrinya tak terkunci.  Membuka pintunya perlahan, Kevin mendapati istrinya yang terlihat sedang membenahi isi kamarnya yang terkesan berdebu. Kevin mendekat, berniat membantu wanita itu memasang sprei baru untuk kasur mereka. "Sini biar mas bantu, kamu belum sehat untuk melakukan ini semua"

Haifa refleks memandang pria didepannya tak suka "kamu untuk apa masih ada disini, bukannya tadi pagi bilang akan langsung pergi setelah aku benar-benar sudah sampai rumah ini"

"Haifa, mas mau menginap disini saja boleh?"

Haifa menatapnya malas, lalu melemparkan sapu ditangannya sedikit kasar ke lantai dan meninggalkan suaminya itu didalam kamar sendirian. Kevin menghela nafasnya, meraih sapu yang tadi dilemparkan istrinya dan melanjutkan untuk membenahi kamarnya.

Sementara Haifa, dia berjalan kebelakang rumahnya. Duduk di sebuah kursi panjang yang langsung menghadap pada bentangan sawah  yang sudah mulai menguning. Dia tak tega sebenarnya, sedari awal dia tak pernah bisa bersikap kasar pada suaminya. Tetapi, mengingat pria itu tak benar-benar bahagia bersamanya justru membuat Haifa merasa tersakiti, bukankah lebih baik mereka berpisah dari pada menyakiti satu sama lain?

Haifa termenung, memikirkan bagaimana nasib rumah tangganya nanti, bagaimana kehidupannya tanpa pria itu. Dan mungkinkah bagi haifa untuk melanjutkan hidupnya dengan normal setelah semua kejadian ini. Haifa sendiri tak yakin dia akan baik-baik saja, mengingat jika dia sudah terbiasa dengan sikap hangat suaminya.

Haifa merasakan matanya memanas, dia mencoba mengelap air matanya dengan ujung kerudungnya sendiri, tak ingin menangisi hidupnya lagi, mungkin memang sampai disini jodoh mereka, haifa tak ingin memaksakan kehendak, mungkin sudah saatnya dia kembali pada kehidupannya yang dulu. Dia saja yang terlalu terbuai kemarin-kemarin, membuatnya lupa jika tempat itu bukanlah untuknya sepenuhnya.

Du tengah isi kepalanya yang berantakan, Haifa mendengar deru mobil suaminya, dengan kesadarannya yang masih tersisa Haifa bangkit dari kursi, berjalan melalui samping rumahnya dan memperhatikan mobil suaminya yang terlihat pergi dari halaman rumah Bapaknya . apakah dia keterlaluan? Meminta pria itu pergi sesaat setelah mereka sampai di rumah ini, bahkan lelahnya berkendara saja mungkin belum hilang dari tubuh suaminya.

Melihat mobil suaminya yang sudah tak terlihat diujung jalan, Haifa berbalik. Dan masuk kedalam rumahnya melalui pintu belakang, dia ingin istirahat, hari ini terlalu melelahkan untuk dirinya hadapi sendirian.

Disaat Haifa berniat membuka pintu kamarnya, Haifa mendengar suara bapaknya yang memanggil. Dia berbalik menghadap bapaknya yang sudah berdiri tepat dibelakangnya "kalian berdua ada masalah apa? Apakah tidak bisa diselesaikan sampai harus menyuruh suami kamu itu pergi"

Haifa bungkam,  tak tahu harus memulai semua ini dari mana. Lagi pula sedari dulu Haifa tak pernah menceritakan apapun kepada bapaknya, jadi tak mudah bagi dirinya untuk menceritakan masalah rumah tangga mereka kepada bapaknya. Lagi pula jika Haifa mengatakan semuanya, belum tentu bapaknya itu tidak menyalahkannya,  dia yang akan terlihat salah dimata orang lain.

"Apa pernikahan kalian tidak bisa dipertahankan? Bapak lihat sepertinya Kevin baik sama kamu"

"Kehidupan pernikahan Haifa sedari awal tak pernah baik-baik saja pak. Bahkan sebab kita berdua menikah juga bukan karena hal yang baik" Haifa menatap bapaknya, teringat saat dia dinikahkan dengan suaminya dahulu "andai saja dulu bapak dan wanita itu tidak memaksakan kehendak, mungkih Haifa tidak perlu menikah dengannya atas tuduhan perzinaan"

Bapaknya sedikit tertunduk, mungkin merasa jika ucapan putrinya kali jni memang benar "maaf, saat itu bapak terpujuk oleh ibumu, dan sekarang bapak sudah mendapatkan balasannya"

Mendengar ucapan bapaknya, haifa mengernyit tak mengerti "maksud bapak?"

Bapaknya tersenyum sekilas, senyum yang haifa tahu hanya untuk menutupi rasa sedihnya. "Bulan lalu, ibumu datang dengan membawa surat gugatan cerai, bapak sama sekali tidak menolaknya. Lagi pula dia berhak untuk bahagia dengan hidupnya, ibumu masih muda untuk menjaga bapak yang sudah sakit-sakitan seperti ini"

Haifa tak menjawabnya, meski merasa kasihan melihat bapaknya seperti itu, tapi ada secuil rasa bahagia di dalam hatinya. Setidaknya dia tak perlu lagi berinteraksi dengan seseorang yang selama ini paling dia hindari. Salahkah jika Haifa bahagia melihat perceraian bapaknya dengan wanita itu? "Lalu yang selama ini meminta uang untuk pengobatan bapak siapa?"

Bapaknya hanya mengendikkan bahu, dan oleh karena itu Haifa tahu jika wanita itu sudah memanfaatkan dirinya dan juga suaminya. Tak ingin melanjutkan pembicaraan mereka,  Haifa memilih undur diri. Masuk ke dalam kamar yang terlihat sudah bersih.

Haifa berjalan ke arah ranjang, meraih sebuah kotak yang tergeletak disana bersama sebuah kertas dibawahnya.

'Di pakai ya, kamu belum sempat mas berikan cincin kan? sudah lama mas belikan. Cuma memang belum sempat mas kasih untuk kamu. Tadinya mau mas berikan saat kamu ulang tahun, tapi sepertinya tidak akan sempat'

Haifa membuka kotak ditangannya, memperhatikan cincinnya dengan seksama. Lalu dia kembali menutupnya, meletakkan kotak itu ke dalam lemari tanpa berniat memakainya. Lagi pula, hubungan mereka sudah berada di ujung tanduk. Cepat atau lambat mereka berdua sudah tak punya hubungan apa-apa. Jadi Haifa rasa, lebih baik dia tak perlu memakainya, dia akan mengembalikan benda itu kepada suaminya, biar pria itu berikan saja kepada wanita yang benar-benar akan menemani hidupnya nanti.

Haifa merebahkan tubuhnya di atas kasur, menyingkirkan semua kekusutan yang ada dikepalanya mengenai nasib pernikahannya nanti. Setelah berpisah, bisakah Haifa melupakan pria itu. Menghapuskan semua perasaan yang hari demi hari semakin menggerogoti hatinya sendiri, tapi setidaknya pria itu akan bahagia, suaminya tak perlu bersusah payah mencoba untuk mencintainya, pria itu bisa kembali membangun keluarga impiannya tanpa terhalang oleh dirinya

Hargai saya dengan cara bantu vote ya..

See you..

Baja NagaraDär berättelser lever. Upptäck nu