16. mendekati anak tiri

1K 97 2
                                    


Haifa sudah berkutat di dapur sepagi ini, menyiapkan makanan untuk suami dan juga anaknya yang sedang di jemput lelaki itu. Dia ingin mencoba mendekati anak itu, membuatnya merasa nyaman di rumah ini dan bisa menerima dirinya sebagai seorang ibu. Haifa tersenyum puas melihat makanan yang sudah dia tata di atas meja.

Mengingat pembicaraannya dengan Kayra kemarin Haifa justru merasa perlu mendekati anak itu, bagaimanapun juga Aira adalah anak suaminya, dan sekarang dia juga ibu dari anak itu. Kayra hanya tak suka kepadanya, wanita itu hanya mencoba untuk membuatnya menjauh dari suaminya sendiri. Haifa tentu tak akan membiarkannya, pernikahan yang suci ini tak boleh dipermainkan.

Mendengar mobil suaminya datang, Haifa berjalan kedepan menyambut mereka, melihat anak itu yang tak mau turun dari gendongan ayahnya Haifa hanya tersenyum maklum, dia masih kecil, membutuhkan waktu untuk menerimanya sebagai orang baru dihidupnya.

Masuk ke dalam rumah,Kevin mendudukan anaknya di kursi meja makan "Aira duduk disini dulu ya sama ibu, papa mau ganti baju dulu ke atas" anak itu mengangguk.  melihat anaknya yang mengangguk setuju Kevin meninggalkan mereka, memberikan ruang untuk istrinya yang ketara sekali sedang mencoba mendekati anaknya.

melihat suaminya yang naik ke atas, haifa mendekat ke arah anaknya "Aira sudah makan? Ibu sudah masak makanan kesukaan Aira, kata papa Aira suka makan ayam kecap kan?" Haifa duduk di samping anak itu, mencoba mendekatinya pelan-pelan.
Melihat anak itu yang diam saja Haifa bergerak salah tingkah. "Aira kenapa? Mau ibu masakkan yang lain?"

Aira menggeleng lalu menatap ke arahnya "ibu, kenapa ibu ambil papa dari aira dan mama?" Tanya Aira dengan wajah polosnya.

Mendengar pertanyaan anaknya Haifa menatap anak itu tak percaya, bagaimana anak berumur 5 tahun seperti ini bisa berpikir seperti itu? "Ibu tidak mengambil Papa dari siapapun sayang, Papa aira akan selamanya menjadi Papa kamu"

"Tapi, Mama bilang ibu mau ambil Papa dari Aira" anak itu bertanya seraya menahan tangisnya, terlihat dari nafasnya yang tersenggal-senggal dan juga matanya yang memerah. "Nanti aira tidak punya papa lagi?"

Haifa yang merasa tak tega mendekat, mencoba memeluk anaknya. Dia tak mengatakan apa-apa, membiarkan anak itu menumpahkan tangisannya yang dia tahan. Haifa tak percaya, bagaimana mantan istri suaminya itu bisa mengatakan hal itu kepada anak sekecil ini, membiarkan anak ini merasa takut kehilangan ayahnya.

Disaat merasakan anaknya yang mulai tenang Haifa melepaskan pelukan mereka, menghapus air mata yang masih tersisa dipipi anak itu "Aira tidak perlu takut, ibu tidak akan memisahkan Aira dari Papa"

"Janji Ibu?" Anak itu menatapnya, meminta Haifa untuk berjanji tak akan memisahkan dengan ayahnya

Haifa mengangguk seraya tersenyum. "Ibu janji. sudah, Aira jangan nangis lagi. Nanti hilang cantiknya" melihat respon anaknya yang tersenyum Haifa ikut tersenyum "makannya mau Ibu suapi atau makan sendiri?"

"Sendiri ibu"

Haifa mengangguk, mengambilkan makanan untuk anaknya dan mendekatkan ke arah anak itu. "Di makan ya, Ibu mau buat minum dulu untuk Papa"

Melihat anaknya yang mengangguk Haifa bangkit, berjalan ke arah dapur yang tak disekat dengan ruang makan untuk membuatkan minum suaminya. Dia tak habis pikir bagaimana wanita bernama Kayra itu bisa membebankan masalah kepada anaknya sendiri, menjadikan anak ini sebagai alat untuk bisa kembali kepada suaminya. sebagai seorang ibu harusnya wanita itu mebuat aira merasa aman dan bahagia, bukannya menghasut anak itu untuk ikut membencinya. Kekanakan!

Kevin turun dengan bajunya yang lebih santai. Haifa mendekat sembari membawa teh yang dia buat untuk suaminya. Ikut duduk dimeja makan dan makan bersama mereka. Haifa membiarkan suaminya yang menyuapi anak itu, membiarkannya anak itu merasakan kasih sayang dari ayahnya tanpa dia ganggu, Haifa tak mau jika anak itu berfikir dia mencoba mengambil alih ayahnya. Haifa akan mendekati anak itu pelan-pelan, tanpa membuat anak itu tersaingi, tanpa mengganggu kebersamaan anak itu dengan suaminya. Haifa akan bersikap layaknya teman yang akan membuat anak itu perlahan merasa nyaman disampingnya.

Selesai makan Haifa membereskan meja makan dan juga mencuci piring bekas makan mereka. sementara suaminya pergi ke taman belakang bersama anak itu. Haifa mengelap tangannya, dia berjalan ke halaman belakang melihat sang suami dan juga anak itu yang sedang bermain bola, Haifa memperhatikannya dari jauh,  memperhatikan wajah anak itu yang cemberut meski masih melanjutkan bermain dengan ayahnya.

Disaat melihat Aira yang terjatuh dan menangis Haifa baru berjalan mendekati mereka, berharap jika perhatian kecilnya ini mampu meluluhkan hati anak itu.

"Kenapa sayang?" Haifa berjongkok didepan suaminya yang sedang membersihkan baju anaknya yang terjatuh tadi.

"Papa curang ibu, main bolanya tinggi-tinggi" adu anak itu masih dengan tangisan khas anak kecilnya kepada Haifa dengan wajah ditekuk, Haifa hanya tersenyum, gemas melihat wajah anak itu yang terlihat sekali kesal kepada suaminya.

"Ya kan papa udah bilang, bola itu mainannya anak laki-laki Aira nggak akan bisa, siapa yang paksa papa buat main bola?" Elak lelaki itu tak mau kalah.

Haifa melirik suaminya, tak suka melihat pria itu tak mau mengalah dengan anak sekecil ini.

"Tapi Aira mau main bola, papa.
Aira nggak suka main boneka sendirian" anak itu melirik ayahnya tak suka. "Aira mau jadi anak laki-laki saja supaya papa mau main tiap hari sama Aira"

"Ya sudah, bagaimana kalau ibu ikut main bolanya?, kita kalahin papa sama-sama" Haifa meraih bola yang tergeletak di tanah, memberikan kode kepada suaminya agar mau mengalah. Haifa memberikan bola ditangannya kepada anak itu "Ayo Aira lempar bolanya yang keras, supaya papa tidak bisa tangkap"

Anak itu menurut, melempar bola ke arah ayahnya. Melihat ayahnya yang tak bisa menangkap bola yang dia lempar Aira berjingkrak dan tersenyum senang. "Papa payah ibu, masa tidak bisa tangkap"

Kevin diam saja, mengambil bola dibelakangnya. Biarlah harga dirinya turun saat ini. Yang penting anaknya bahagia. "Sekarang giliran ibu ya?" Kevin melempar bolanya ke arah Haifa, menatap wanita itu tajam. Mencoba menantang wanita lewat tatapan matanya.

Haifa menangkap bolanya, melihat sang suami menatapnya seperti itu dia merasa tertantang. Dia melirik anaknya yang saat ini melihat ke arahnya "Aira doain ibu ya, supaya kita menang"

Anak itu mengangguk antusias. Haifa kembali memusatkan tatapannya ke arah sang suami.

"Eh mama, kok datang tidak bilang-bilang" Haifa menatap ke arah punggung suaminya. Kevin refleks menoleh, mencari keberadaan ibunya. Disaat dirinya lengah Kevin merasakan bahunya yang di lempar  bola oleh wanita itu.

"Yeay ibu menang!" Anak itu memeluk ibunya, merasa senang karena bisa mengalahkan ayahnya. Haifa ikut tertawa, meraih anak itu kedalam gendongannya "papa payah kan sayang?"

"Iya, papa payah!" Aira tergelak, meledek ayahnya yang menunjukan wajah sedih.

"Aira sama ibu mainnya curang, papa males ah!" Lelaki itu pura pura merajuk, membuat anaknya dan wanita itu tertawa. Melihatnya Kevin merasa senang. Setidaknya Aira tak lagi merasa canggung bersama istrinya. Anak itu sudah mau bermain dengan wanita itu. "Masuk yuk, main di dalam. Disini panas"

"Alah, papa takut kalah ya.."

"Ya sudah kalau Aira tidak mau masuk, Aira main sama ibu saja berdua" kevin merajuk, meninggalkan  anak dan juga istrinya yang ikut mengekorinya di belakang.

Hargai saya dengan cara bantu vote ya..

see you..

Baja NagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang