46. saling tertutup

436 60 3
                                    

Kevin memijat keningnya perlahan, melihat data keuangan yang tak sesuai dengan pengeluaran perusahaanya, entah karena datanya yang salah atau memang ada pengkhianat di perusahaannya. Mengingat dia yang akhir-akhir ini jarang datang ke kantor, bukan tidak mungkin jika ada orang yang mencoba untuk memanfaatkan itu semua. di tambah dengan kabar David yang masih belum tertangkap, membuat isi kepalanya penuh dan terasa ingin meledak.

Di satu sisi dia harus memikirkan nasib perusahaanya, perusahaan itu sudah dia bangun dengan susah payah, tak mungkin dia membiarkan perusahaan itu hancur begitu saja. Dan disisi lain dia masih harus terus mengawasi kelanjutan kasus pria itu, Kevin harus memastikan jika istri, anak dan juga keluarganya aman. dia tak akan membiarkan pria itu berkeliaran diluar sana dan mengancam keselamatan keluarganya.

Melirik jam yang ada di dinding ruang kerjanya, Kevin menghela nafas. sudah cukup larut dan dia butuh untuk istirahat. Kevin menutup laptopnya, lalu bangkit dan turun ke lantai bawah, menuju kamar tamu yang sudah beralih fungsi menjadi kamarnya dengan Haifa.

Membuka pintu, Kevin mendapati istrinya yang masih terjaga. wanita itu berbaring dengan matanya yang fokus menatap langit-langi kamar mereka. Kevin berjalan mendekat, duduk disisi ranjang dan membuat istrinya itu menyadari kedatanganya.

"Kenapa belum tidur?" Kevin bertanya seraya naik ke atas ranjang, duduk di sana seraya memperhatikan Haifa yang terlihat gelisah. tapi, bukannya menjawab, istrinya itu justru menggeleng, dan Kevin tak menyukai itu semua. Bukankah sebagai sepasang sumi istri mereka berdua harus bisa saling terbuka? lalu mengapa istrinya itu menggeleng sementara dari wajahnya saja Kevin tahu wanita itu sedang memikirkan sesuatu. "jujur saja, mas bisa kok jadi pendengar yang baik, apa yang sedang kamu fikirkan sampai belum tidur selarut ini"

"Haifa belum tidur karena nungguin kamu mas. Haifa kira mas ketiduran diruang kerja" Haifa tak sepenuhnya berbohong, dia memang sedang menunggu suaminya yang tadi ada diruang kerjanya, hanya saja dia tak bisa mengatakan semua hal yang ada dikepalanya kepada pria itu. suaminya sudah terlalu banyak masalah, Haifa tak ingin membebaninya lagi dengan masalah  keluarganya. "Ya sudah, Haifa mau tidur sekarang" Haifa menarik selimutnya sebatas leher, mencoba untuk tidur dan menghidar dari suaminya yang masih menatap tak percaya ke arahnya. tak seberapa lama Haifa merasakan pria itu turun dari ranjang, Haifa membuka matanya dan mendapati suaminya itu berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Haifa memperhatikannya, entah mengapa dia merasa suaminya itu sedang menyembunyikan sesuatu, dan haufa tahu  pria itu mempunyai masalah yang tak ingin dibagikan dengannya.

                                 ***

Paginya Haifa sudah diantarkan kerumah ibu mertuanya, lelaki itu bilang ada pekerjaan di kantor yang tak bisa dia tinggalkan. dan lelaki itu akan merasa tak tenang jika meninggalkan Haifa sendirian dirumah, Haifa pun merasa sedikit takut jika sendirian dirumah itu. dia tak pernah tahu bahaya apa yang sedang mengancam mereka semua.

Saat sampai dirumah ibu mertuanya Haifa disambut baik oleh ibunya, juga Aira yang langsung menghambur kepelukannya saat dia datang. satu minggu tak bertemu nyatanya membuat mereka berdua merindukan satu sama lain.

"Ibu dari mana saja? kenapa baru jemput Aira sekarang" anak itu bertanya seraya duduk dipangkuannya yang terduduk di sofa ruang tamu, Haifa tersenyum, melihat anak itu sudah bisa menerimanya seperti ibu kandungnya sendiri.

"Ibu ada di rumah sayang, sementara ini Aira tinggal sama nenek dulu. Besok, ibu jemput lagi Aira untuk tinggal sama ibu ya?"

"Kenapa? ibu tidak suka sama Aira? Aira nakal ya bu?"

Haifa hanya tersenyum, mengelus rambut panjang milik Aira. tak menyangka jika anak sekecil itu bisa berpikiran kritis seperti ini "siapa bilang? Aira baik kok, Aira pinter. hanya saja kalau Aira tinggal dirumah nenek, banyak yang menjaga Aira disini. ibu kan sedang kurang sehat, kalau di rumah ibu nanti siapa yang jaga Aira? nanti kalau ibu sudah sehat, ibu jemput lagi Aira ya, bagimana?"

Aira mengangguk tanda mengerti, sudah Haifa bilang, Aira termasuk anak yang pintar untuk ukuran anak seusianya. dia bisa mengerti disaat anak seusianya mungkin akan tetap kekeh tak ingin untuk ditinggalkan.

"Mas berangkat dulu, kamu hati-hati di rumah mama"

Haifa menghadap suaminya, sedikit tersenyum seraya mengangguk "mas hati-hati juga dijalan" lalu meraih tangan suaminya untuk dia salimi.

Lelaki itu tersenyum, senyum yang entah kenapa Haifa rasa sedikit berbeda. Pria itu seperti memiliki masalah yang tak ingin dibagikan kepadanya.  Dia mencoba memaklumi, mungkin pria itu tak ingin membebaninya, sama seperti dirinya yang juga tak ingin membebani pria itu.

Setelah berpamitan kepadanya,  suaminya itu langsung mendekat ke arah Aira, berpamitan kepada anak itu seraya mengecup kepalanya. Saat suaminya berbalik dan pergi dari hadapan mereka, Haifa merasakan sesuatu yang berbeda, ada sedikit kekhawatiran melihat suaminya yang seperti sedang menanggung beban masalahnya sendirian, andai saja dia bisa membantu memikul beban suaminya itu, Haifa sungguh tak merasa keberatan.

Merasakan tangannya di genggam Aira, Haifa menunduk, menatap anaknya yang saat ini juga sedang melihat ke arahnya. "Ibu, ayo temani Aira makan."

Haifa mengangguk, mengikuti langkah anaknya yang menarik pelan tangannya menuju ruang makan, dimana ada bibi dan juga kedua mertuanya disana. Sebenarnya Haifa merasa segan, meski ibu dan ayah mertuanya itu baik dia merasa tak enak hati jika harus merepotkan mereka lagi. Sebelum duduk Haifa menghampiri ayah mertuanya, menyalimi pria itu baru setelahnya Haifa duduk untuk menyuapi Aira makan, dia sendiri belum makan karena suaminya bilang mereka akan makan bersama dirumah mama, nyatanya lelaki itu justru sudah pergi terlebih dahulu sebelum mengisi perutnya. Memikirkannya, Haifa jadi merasa bersalah, membiarkan suaminya pergi dengan perut kosong nyatanya membuat dia khawatir juga.

Sementara Kevin langsung menuju keruangannya setibanya di tempat kerja, meminta berkas-berkas keuangan selama satu tahun terakhir kepada staf keuangan dikantornya, juga data dari beberapa orang yang memang dia curigai. Memeriksa setiap angka yang tertera disana karena tak ingin ada kekeliruan lagi nantinya. Memikirkan dana yang sudah keluar, tetapi proyek yang mereka kerjakan justru mangkrak membuat isi kepalanya sesak karena memikirkan banyak hal. Mungkin dia juga terlalu teledor selama ini, kurang teliti dalam pekerjaanya.

Dia tak akan membiarkan usaha yang dia bangun meski dengan bantuan tangan ayahnya itu hancur begitu saja. Tempat ini sudah menjadi saksi usahanya sedari dahulu, tempat ini juga menjadi tempat bergantung para karyawannya, jika sampai dia bangkrut mereka harus kehilangan penghasilan mereka, dan karena itu dengan cara apapun dia akan mempertahankannya.

hargai saya dengan cara bantu vote ya..

See you..

Baja NagaraМесто, где живут истории. Откройте их для себя