20. pulang kampung

974 90 7
                                    

Haifa sampai di tempat kelahirannya pukul tujuh malam, dia langsung pergi menuju rumah sakit tempat ayahnya dirawat tanpa pulang ke rumahnya terlebih dahulu, mengingat kejadian yang menimpanya sebelum ini dan membuatnya harus menikah saat itu juga. Dia takut jika berada dirumahnya sendirian, pria tua itu punya banyak mata-mata disana, bukan tidak mungkin mereka itu akan mengetahui keberadaanya jika dirinya nekat pulang sendirian.

Sesampainya di sana, Haifa menyusuri lorong rumah sakit yang terlihat lenggang. receptionis yang dia tanyai tadi mengatakan jika kamar tempat ayahnya dirawat ada disini. Saat sudah berada didepan ruangan yang Haifa yakini adalah tempat ayahnya dirawat dia berdiri di depan pintu dan menarik nafasnya pelan, menenangkan dirinya agar bisa bertahan menghadapi ibu tirinya di dalam sana.

Setelah dirasa dirinya tenang dan siap dengan segala yang terjadi nantinya, Haifa membuka pintu perlahan sembari beruluk salam. Pandangannya langsung tertuju pada ayahnya yang masih terbaring di atas brankar. Lalu beralih ke arah ibunya yang duduk disofa disudut kamar. Haifa berjalan masuk dan mendekati wanita itu, menyalaminya terlebih dahulu, dan menanyakan kabarnya untuk basa-basi. Setelahnya dia berjalan menghampiri ayahnya yang sedang tertidur, memegang tangan ayahnya dan mencium tangan pria itu.

Melihat sang ayah yang terbaring lemah seperti ini Haifa merasa sedih, laki-laki yang selama ini tak pernah menujukan sisi lemah dihadapannya, laki-laki yang dulu selalu Haifa banggakan didepan teman- temannya saat ini berbaring tak berdaya.

"Suami kamu dimana?"

Mendengar ibunya bertanya dengan nada yang tak enak di dengar Haifa menengok, memberikan senyuman yang tak ikhlas dia berikan "Mas Kevin banyak kerjaan bu"

"Kamu pulang sendirian? Lalu siapa yang akan membayar biaya rumah sakit bapak? Ibu sudah tidak punya uang simpanan lagi"

Haifa tersenyum menenangkan "tenang saja ibu, Haifa ada uang sedikit" Haifa mencoba menenangkan istri ayahnya itu, memangnya siapa yang meminta wanita itu untuk membayarkan?

"Kamu pikir biaya rumah sakit itu murah? Seharusnya setelah menikah dengan orang kaya hidup kita akan berubah. Tidak perlu lagi memikirkan cara mencari uang"

Haifa tak menanggapi, dia berbalik menghadap ayahnya. Malas mengahadapi sikap ibu tirinya yang selalu berlebihan, lagi pula dia malu jika harus merepotkan lagi suaminya. Dia tak mau jika nantinya lelaki itu berfikir dia memanfaatkan posisinya sebagai seorang istri. Haifa hanya membiarkan ibunya yang masih terus berbicara, dia muak sebenarnya, tapi tak berani untuk melawan wanita itu.

"Haifa! Kamu pergi cari makan untuk ibu"

Haifa menarik nafasnya kasar, mencoba menahan perasaannya agar tak meluap ditempat ini. apakah wanita itu tidak tahu jika dirinya baru saja datang? Setelah perjalanan lebih dari enam jam dan dia tak dibiarkan untuk istirahat. Tak ingin membuat keadaan runyam dan tanpa mengatakan apapun dia bangkit berdiri, meninggalkan ruangan yang baru beberapa menit dia masuki dan membuat nafasnya terasa sesak.

Haifa merogoh saku bajunya, mencari uang yang hanya tersisa beberapa lembar saja.

Bahkan dia sendiri tak tahu harus mencari uang kemana untuk bisa membayar biaya rumah sakit ayahnya. tadi dia mengatakan jika ibunya tak perlu khawatir hanya karena tak ingin membuat ibu tirinya bising saja di dalam sana, dia sudah malas jika harus mendengar bualannya yang tak habis-habis. Haifa bahkan heran bagaimana ayahnya mampu bertahan dengan wanita secerewet ini, mata duitan pula!

Haifa menyebrang jalan, menghampiri penjual nasi goreng yang tepat berada di depan pagar rumah sakit. Sebenarnya rumah sakit ini tak terlalu besar, biaya yang dibutuhkan juga tak terlalu mahal. Haifa yakin dia bisa mendapatkan uang untuk pengobatan ayahnya.

Dia memesan dua bungkus nasi goreng untuknya juga untuk wanita didalam sana, mengingat dirinya juga belum makan semenjak siang tadi.

Sembari menunggu pesanannya selesai Haifa membuka ponselnya, menyalakan ponsel itu setelah dia nonaktifkan saat sang suami menelfonnya sore tadi, mengingat Pria itu Haifa merasa kesal sendiri. Untuk apa lelaki itu menghubunginya setelah memintanya untuk pulang sendirian.

Haifa memperhatikan puluhan pesan yang masuk dari suaminya, dia tak berniat membalas ataupun hanya sekedar membacanya. Malas jika harus meladeni orang-orang yang tak menyukainya dan tulus kepadanya.

Haifa mencari beberapa kontak temannya yang bisa di hubungi, berharap jika ada yang bersedia membantunya di saat seperti ini, mengingat dirinya punya sepeda motor yang dibelikan oleh ayahnya 4 tahun lalu, Haifa berniat menjualnya, lagi pula motor itu memang diberikan untuknya, biarkannya jika nantinya sang ibu tiri tak terima, jika sudah dijual wanita itu tak bisa apa-apa.

Hingga pesanannya selesai temannya belum ada yang membalas, Haifa kembali memasukan ponselnya ke dalam tas, membayar nasi goreng yang dia beli dan langsung kembali menuju ruangan ayahnya.

Saat dirinya datang wanita itu menunjukan wajah tak suka, menatapnya tajam seakan-akan ingin menerkam. "Kamu itu bagaimana? Keluar rumah tanpa izin dari suami" wanita tua itu langsung berbicara saat melihat dirinya datang.

"Haifa sudah izin mas Kevin ibu" Haifa meletakkan bungkusan ditangannya diatas meja, berusaha menulikan telinga saat melihat sang ibu yang sepertinya akan kembali menceramahinya.

"Ibu telpon suami kamu, katanya dia tidak tahu kalau kamu pulang kesini!
Sebagai istri kamu seharusnya jangan bersikap seperti ini, pergi seenaknya sendiri tanpa izin dari suami"

Haifa memalingkan muka, merasa jengah dengan wanita didepannya, wanita itu berkata layaknya seorang istri yang sempurna. Padahal selama menjadi istri ayahnya perangai wanita itu tak bisa dikatakan baik, suka melawan ayahnya, boros, pembohong dan banyak kecurangan yang wanita itu lakukan kepada ayahnya. Jika mau Haifa sudah membeberkan itu semua kepada ayahnya. Dan sekarang wanita itu menasihatinya untuk menjadi istri yang baik. Tidak salah?!

"Haifa sudah izin mas Kevin, dan dia membolehkan untuk Haifa bisa pulang sendirian" Haifa merogoh isi tasnya, mengambil ponsel dari dalam sana dan meletakan ponselnya di atas meja dengan perasaan kesal "kalau ibu tidak percaya, ibu bisa baca sendiri. Haifa lelah, mau istirahat, terserah ibu mau percaya atau tidak"

Wanita di depannya bungkam, tak mengatakan apapun lagi. Dia hanya mengambil bungkusan nasi yang dia letakan di meja tanpa berniat menyentuh  ponsel yang Haifa letakan. Sementara Haifa kehilangan selera makannya, dia berjalan ke arah kamar mandi untuk mencuci wajahnya dan menggosok gigi, malas jika harus bertengkar dengan wanita yang tak pernah mau mengalah. Dia berniat tidur saja setelah ini.

Berjalan keluar dari dalam kamar mandi Haifa langsung menuju kursi disisi brankar ayahnya, lebih baik tidur disini dari pada harus tidur disamping ibu tirinya itu, meski Haifa tahu mungkin besok pagi badannya akan terasa sakit-sakit

"Kamu beli nasi goreng dua bungkus  ini untuk siapa?"

Tanpa menoleh ke arah ibunya Haifa  hanya menjawabnya malas "buat ibu semua, siapa rahu kurang"

"Kamu sudah makan?"

Haifa tahu, wanita itu bertanya bukan karena perduli "Nanti Haifa beli lagi kalau lapar"

Haifa tak mendengar jawaban lagi dari wanita di belakangnya, wanita itu juga tak akan perduli dirinya sudah makan atau belum. Haifa tahu dia memang menginginkan semua nasi goreng yang dia beli tadi, mengingat porsi makannya yang memang banyak Haifa tak merasa heran.

Haifa menekuk kakinya untuk naik ke atas kursi, lalu bersandar mencari posisi paling nyaman untuknya tidur. Dari pada meladeni wanita tua dibelakangnya yang terpaksa dia hormati lebih baik dia tidur dan mengiatirahatkan tubuhnya yang  terasa remuk redam malam ini.

Sebelum kesadarannya benar-benar hilang Haifa mendengar panggilan ibunya, tapi tak dia hiraukan.
biarlah, wanita itu mungkin hanya ingin menyuruhnya lagi, dan Haifa tak perduli.

Hargai saya dengan cara bantu vote ya.. coment juga

See you..

Baja NagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang